Bismillaahirrahmaanirrahiim
"Loh, kok namanya bukan Fathiyah, Kak?" tanyanya polos, alis matanya mengerut.
Aku menganga, seratus persen tak percaya dicecar dengan pertanyaan itu. Sebelum situasi lebih gempar, sebelum dia mengaitkan nama mobil kesayanganku dengan sebuah sinetron, sebelum semua menjadi lebih kacau, mulutku segera menyemprot protes, "Yang benar saja, namanya Fatih. eF-a-Te-i-Ha. Dan dia itu cowok!"
Aku menganga, seratus persen tak percaya dicecar dengan pertanyaan itu. Sebelum situasi lebih gempar, sebelum dia mengaitkan nama mobil kesayanganku dengan sebuah sinetron, sebelum semua menjadi lebih kacau, mulutku segera menyemprot protes, "Yang benar saja, namanya Fatih. eF-a-Te-i-Ha. Dan dia itu cowok!"
"Haa? Tapi tapi... rona merahnya, aura imutnya, proporsi manisnya, dan dan dan... Kak Maya kan cewek?" Dia masih tak sepakat denganku. Er-rr, Fatih, jangan marah. Dia hanya belum memahami bahwa aku menjadikanmu penjaga di medan berkendara, bukan sebagai yang dijaga dan itu membuatku lebih nyaman. Lagipula sejak pertama kali bertemu denganmu, cap maskulin sudah tertempel padamu.
"Coba dengar, nama itu diambil dari nama seorang sultan, sang penakluk Konstantinopel, Muhammad Al Fatih," aku menjelaskan perlahan. Sesekali aku melirik padanya lalu lanjut berceloteh, "Selain itu kata fatih memiliki arti pemimpin, pembuka atau perintis. Dari dulu aku punya rekor buruk dalam mengemudi, tapi kali ini aku berharap bisa merintis kepercayaan orang tuaku melalui Fatih. Ya, aku membuka lembar baru dengan Fatih sebagai pelatuknya. Can you get it?"
Dia mengangguk. Sedetik kemudian mulutnya membulat dan mengeluarkan alfabet kelima belas, "Ooooo...!!" Aku tertawa kecil. Ah, anak ini memang selalu bisa membuat jantungku gatal. Namanya Wuri dan aku tak pernah bosan ketika bersamanya.
Aku melajukan Fatih dengan susah payah. Pasalnya, jalanan menuju ke Rumah Wuri benar-benar padat. Kendaraan saling berebut tempat. Aku harus pandai-pandai menyusup. Apalagi kami harus singgah di sebuah pasar untuk membeli bahan-bahan keperluan masak. Hari ini kami akan membuat Kapurung. Eh, tak tahu apa itu Kapurung?
Menurut wikipedia, Kapurung adalah salah satu makanan khas tradisional di Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat daerah Luwu (Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur) yang terbuat dari sari atau tepung sagu. Di daerah Maluku dikenal dengan nama Papeda. Kapurung dimasak dengan campuran ikan atau daging ayam dan aneka sayuran. Meski makanan tradisional, Kapurung mulai populer. Selain ditemukan di warung-warung khusus di Makassar juga telah masuk ke beberapa restoran, bersanding dengan makanan modern. Di daerah Luwu sendiri nama Kapurung ini sering juga di sebut Pugalu. Nah gimana, kepengen mencicipi Kapurung buatan kami nggak? Hohoho.
"Kiri...!" Wuri bersorak layaknya seorang ahli navigasi, petunjuk jalan yang handal.
Dengan cepat, aku pun membanting kemudi ke arah kiri. Tiba-tiba Wuri berseru panik, "Bukan! Salah jalan, Kak! Kanan! Kanan!"
What?! Yang benar saja, lupakah kalau kita di persimpangan jalan super duper ramai? Tindakan ceroboh seperti ini (baca: memberi isyarat belok kiri dan sudah separuh jalan tetapi nyatanya malah belok kanan) hanya akan memperbesar probabilitas tabrakan.
Argh, aku mengerang. Piiip! Piiip! Dengungan klakson semakin memperburuk suasana. Piiip! Piiip! Sebuah mobil dari arah kanan bergerak membabi buta. Hey, jangan bilang dia tidak melihat kami? Jangan bilang, dia.... argh! Aku mengerang kedua kalinya. Yaa Allah, astaghfirullah wa atubu ilaihi.
Well, kami tidak tabrakan. Alhamdulillah. Kami masih bisa melihat senja dengan bernapas lega. Di detik-detik terakhir, Fatih berhasil berbelok ke kanan, menyeberang ke sisi kiri dan menghindari mobil yang membuat kami sport jantung itu. Aku yakin, di detik kritis, akhirnya dia melepas egonya dengan menginjak rem dan membiarkan kami lewat. Tabaarakallahu Ta'ala. Tak ketinggalan, mobil dari sisi kiri yang berhenti beberapa meter sebelumnya. Huff, benar-benar menegangkan.
Spontan aku berteriak, "Ini gila!!" Aku menatap Wuri, peluh bercucuran di pelipisnya. Sepertinya dia lebih syok dibandingkan diriku. Aku menggeleng perlahan, "Jangan pernah lakukan hal itu lagi. Atau kita berdua akan celaka dua belas!"
Wuri menghela napas, "Ih, Kak! Yaa Allah, itu nggak disengaja. Terus tadi Kak Maya lihat tangan kananku begini kan?" Dia mengangkat tangan kanannya lalu menggerak-gerakkannya ke arah kanan, memberi isyarat belok kanan. Aku membantah, "Enggak, tuh!"
Wuri bersikeras, "Masa sih?"
Aku mengernyit, "Ya iyalah. Aku kan hanya mendengar suaramu."
"Jangan! Mulai sekarang ikuti gerakan tanganku ya, Kak. Kadang-kadang, aku tak bisa membedakan arah kiri dan kanan. He em, otakku salah memilih kata. Jadi lebih baik, mempercayakan arah pada gerak tubuhku saja," akunya jujur.
Aku menatap Wuri, lama. Aku berusaha mencerna apa yang barusan dikatakannya. Terdengar tidak masuk akal ya?
Lalu tiba-tiba perutku tergelitik. Ups, aku tak bisa menahannya lagi. Aku tertawa terbahak-bahak. Wuri yang cemberut langsung memukul-mukul lengan kiriku. Hahaha. Di sisa perjalanan kami, aku melarangnya berbicara. Jadi aku bisa fokus menghabiskan tiga detik pertama untuk melihat isyarat tangannya, sebelum kemudian membanting kemudi ke arah yang ditunjukkannya.
Makassar, akan selalu muncul hal yang tak terduga bila bersamamu
Hey, Wuri! Kapan-kapan kita jalan-jalan lagi ya ^^ hohoho!
30 April 2013 Miladiyah - 19 Jumadil Akhir 1434 Hijriyah
Aku melajukan Fatih dengan susah payah. Pasalnya, jalanan menuju ke Rumah Wuri benar-benar padat. Kendaraan saling berebut tempat. Aku harus pandai-pandai menyusup. Apalagi kami harus singgah di sebuah pasar untuk membeli bahan-bahan keperluan masak. Hari ini kami akan membuat Kapurung. Eh, tak tahu apa itu Kapurung?
Menurut wikipedia, Kapurung adalah salah satu makanan khas tradisional di Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat daerah Luwu (Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur) yang terbuat dari sari atau tepung sagu. Di daerah Maluku dikenal dengan nama Papeda. Kapurung dimasak dengan campuran ikan atau daging ayam dan aneka sayuran. Meski makanan tradisional, Kapurung mulai populer. Selain ditemukan di warung-warung khusus di Makassar juga telah masuk ke beberapa restoran, bersanding dengan makanan modern. Di daerah Luwu sendiri nama Kapurung ini sering juga di sebut Pugalu. Nah gimana, kepengen mencicipi Kapurung buatan kami nggak? Hohoho.
"Kiri...!" Wuri bersorak layaknya seorang ahli navigasi, petunjuk jalan yang handal.
Dengan cepat, aku pun membanting kemudi ke arah kiri. Tiba-tiba Wuri berseru panik, "Bukan! Salah jalan, Kak! Kanan! Kanan!"
What?! Yang benar saja, lupakah kalau kita di persimpangan jalan super duper ramai? Tindakan ceroboh seperti ini (baca: memberi isyarat belok kiri dan sudah separuh jalan tetapi nyatanya malah belok kanan) hanya akan memperbesar probabilitas tabrakan.
Argh, aku mengerang. Piiip! Piiip! Dengungan klakson semakin memperburuk suasana. Piiip! Piiip! Sebuah mobil dari arah kanan bergerak membabi buta. Hey, jangan bilang dia tidak melihat kami? Jangan bilang, dia.... argh! Aku mengerang kedua kalinya. Yaa Allah, astaghfirullah wa atubu ilaihi.
Well, kami tidak tabrakan. Alhamdulillah. Kami masih bisa melihat senja dengan bernapas lega. Di detik-detik terakhir, Fatih berhasil berbelok ke kanan, menyeberang ke sisi kiri dan menghindari mobil yang membuat kami sport jantung itu. Aku yakin, di detik kritis, akhirnya dia melepas egonya dengan menginjak rem dan membiarkan kami lewat. Tabaarakallahu Ta'ala. Tak ketinggalan, mobil dari sisi kiri yang berhenti beberapa meter sebelumnya. Huff, benar-benar menegangkan.
Spontan aku berteriak, "Ini gila!!" Aku menatap Wuri, peluh bercucuran di pelipisnya. Sepertinya dia lebih syok dibandingkan diriku. Aku menggeleng perlahan, "Jangan pernah lakukan hal itu lagi. Atau kita berdua akan celaka dua belas!"
Wuri menghela napas, "Ih, Kak! Yaa Allah, itu nggak disengaja. Terus tadi Kak Maya lihat tangan kananku begini kan?" Dia mengangkat tangan kanannya lalu menggerak-gerakkannya ke arah kanan, memberi isyarat belok kanan. Aku membantah, "Enggak, tuh!"
Wuri bersikeras, "Masa sih?"
Aku mengernyit, "Ya iyalah. Aku kan hanya mendengar suaramu."
"Jangan! Mulai sekarang ikuti gerakan tanganku ya, Kak. Kadang-kadang, aku tak bisa membedakan arah kiri dan kanan. He em, otakku salah memilih kata. Jadi lebih baik, mempercayakan arah pada gerak tubuhku saja," akunya jujur.
Aku menatap Wuri, lama. Aku berusaha mencerna apa yang barusan dikatakannya. Terdengar tidak masuk akal ya?
Lalu tiba-tiba perutku tergelitik. Ups, aku tak bisa menahannya lagi. Aku tertawa terbahak-bahak. Wuri yang cemberut langsung memukul-mukul lengan kiriku. Hahaha. Di sisa perjalanan kami, aku melarangnya berbicara. Jadi aku bisa fokus menghabiskan tiga detik pertama untuk melihat isyarat tangannya, sebelum kemudian membanting kemudi ke arah yang ditunjukkannya.
Makassar, akan selalu muncul hal yang tak terduga bila bersamamu
Hey, Wuri! Kapan-kapan kita jalan-jalan lagi ya ^^ hohoho!
30 April 2013 Miladiyah - 19 Jumadil Akhir 1434 Hijriyah