Bismillaahirrahmaanirrahiim

Pernahkah kau merasa seperti seekor kecoak terbang yang terjepit di ketiak pintu? Ya, kecoak yang terbang begitu liarnya tapi dengan bodohnya malah berakhir di ketiak pintu. Pernahkah? Er-rr, aku tidak berharap akan merasakannya. Namun, ketika kau berada di ruang kuliah, duduk di bangku terdepan, tatapan dosen tertuju padamu -yang parahnya pura-pura mengantuk pun tidak membuatmu lepas dari perhatian- sedang kau terus melirik daun pintu, berharap perkuliahan segera berakhir lalu ngacir ke luar kelas. Fiuuhhh... rasanya benar-benar seperti kecoak terjepit. Ugh, tapi bukan kecoak mati ya.

Jarum jam yang menunjukkan waktu dhuhur sudah lewat sejam, membuat gerakku semakin gelisah. Wahai bapak dosen yang baik hati, mari kita break shalat dhuhur dulu. Aku berharap bisa berkata demikian dengan suara lantang. Sayangnya, suaraku tercekat di tenggorokan. Alhasil aku pun hanya bisa menyampaikan hal itu lewat isyarat tubuh. Eh, tapi kayaknya berhasil tuh. Menit berikutnya, aku sudah melanglang buana, mencari teman jalan ke mushalla. He eh, kuliahnya sudah selesai.

Tak lama, aku dan beberapa teman pun berjalan beriringan, memenuhi koridor kampus merah hitam. Tiba-tiba saja sebuah suara nyaring, messo sopran dan dayu memanggil namaku. Aku langsung tahu suara itu milik sekretaris pascasarjana teknik elektro. Aku memisahkan diri dari teman-teman lalu masuk ke ruang administrasi. Melihat kedatanganku, ibu paruh baya itu segera merespon, "Mau kemana Maya?"

"Ke mushalla di lantai 3, Bu."
"Waduh jauh sekali kan? Mending Maya shalat di sini saja."

Di sini? Loh, kan tidak ada ruang untuk shalat. "Tidak begitu jauh kok, Bu."
"Masuk saja ke ruangannya Prof. Di sana ada sajadah dan mukena punya Ibu. Kiblatnya menghadap ke pintu. Sudah punya wudhu belum? Tuh ada kunci wc, pakai saja."

Deg! Shalat di ruangan ketua prodi pascasarjana? Well, aku masih waras. "Makasih banyak, Bu. Tapi nanti tidak enak sama Prof. Lebih baik kalau-"
"Tidak apa-apa. Lagipula sedari tadi Prof. tidak ada, kok. Sudah sana, bergegaslah!"

Aku mati kutu. Rasanya seperti kejepit dua kali. Tak mampu berkilah lagi, akhirnya aku masuk ke ruangan Prof. Memilih spasi di belakang kursi tamu, aku menggelar sajadah. Menghadap kepada Rabb Yang Maha Agung, menunaikan kewajibanku sebagai seorang hamba. Shalat dhuhur pun kutegakkan.

Sejujurnya ada rasa aneh yang timbul usai melaksanakan shalat dhuhur di tempat ini. Halo, ini ruang kerja loh. Parahnya lagi, ini ruang orang nomor satu yang harus kusegani. Antara mau tertawa atau tertekan, tapi bagaimanapun diam adalah pilihan bijaksana. Lagipula dalam hatiku, terpatri sebuah hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu’anhu yang menyatakan, "Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, iringilah kesalahan dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik." (HR. Tirmidzi). Jadi aku pun tidak ambil pusing dengan pikiran-pikiran aneh yang sedari tadi membuntutiku. Tak ragu, aku segera berdiri lagi untuk melaksanakan shalat sunnah rawatib.

Drap! Tap! Tap! Tap!

Eh, bukankah itu suara langkah kaki? Bukankah itu bunyi gesekan antara sepatu pantofel dengan lantai porselen? Bukankah itu-?  Otakku kehabisan napas. Aku tak mampu berpikir. Drap! Tap! Tap! Aku masih dalam posisi shalat ketika sesosok pria dengan rambut nyaris tak berakar lagi di kepalanya, bertubuh jangkung, berkumis tipis dan beraroma jeruk lemon memasuki ruangan. Profesor datang! Tamatlah riwayatku. Goodbye, days!

Tidak, aku belum mati. Astaghfirullah yang benar saja, jantungku nyaris copot! Ide-ide luar biasa bertaburan secepat kilat. Apa aku harus segera menyapa profesor yang melihatku dengan sorot kaget tak tertahankan itu? Hai Prof. Apa aku harus membatalkan shalat sunnahku lalu melengos kabur? Permisi Prof. Apa aku harus pura-pura tak melihat, tak mendengar dan tak merasakan apapun? Maaf Prof.

Ck, aku tidak melakukan satu pun dari ide tersebut. Yang terjadi adalah aku memakai teknik kekosongan pikiran. Sebisa mungkin aku mengatur napasku, begitu pula dengan debaran jantungku. Hingga aku menuntaskan rakaat shalatku. Tak kuhiraukan lagi percakapan yang terjadi antara Prof. dan ibu sekretaris tentang pembagian mata kuliah yang mulai menggaung di dalam ruangan.

teknik kekosongan pikiran
Masih dalam mode teknik kekosongan pikiran - Credit

Seusai shalat, aku cepat-cepat melipat sajadah. Masih dalam mode teknik kekosongan pikiran, aku mencari-cari ponsel dan kunci mobilku yang tadi kuletakkan di atas kursi tamu. Tapi kok nggak ada ya? Aku berdiri dan mengedarkan pandangan. Gejolak histeris melejit dari mataku yang membelalak. Teknik kekosongan pikiranku terpatahkan. Celaka dua belas! Ponselku... kunci mobilku... ada di atas meja profesor. Sekedar informasi, barang-barangku hanya berjarak lima sentimeter dari tangan profesor. Aku baru ingat, merk dan tipe ponselku sama persis dengan milik profesor. Mungkinkah profesor mengira ponsel milikku adalah miliknya? Yaa Allah Yaa Rabb. Sesuatu banget ya. Aku gelagapan.

"Maaf, Prof. Permisi..." kataku sepelan mungkin hingga aku hampir tak mendengar suaraku sendiri saat mengambil barang-barangku dari atas meja. Ternyata aku tak perlu khawatir diperhatikan, karena detik ini juga aku bak miss invisible. Yup, pasalnya Prof. dan ibu sekretaris tengah larut dalam persiapan rapat antardosen. Dengan hati-hati, aku langsung keluar dari ruangan. Apa kau tahu bagaimana rasanya begitu kakiku memijak petak pintu keluar? Layaknya seorang narapidana yang baru saja bebas dari penjara, aku merasa begitu lega. Aku mengembuskan napas kencang-kencang.

"Tunggu...!!" suara barito Prof. menghentikan denyut legaku. Glek! Aku menelan ludah. Perlahan aku membalikkan badan dan berusaha menyunggingkan senyum, "Iya, Prof?"

"Tolong gantikan saya mengajar di kelas mahasiswa S1, mata kuliah material elektroteknik, semester ganjil ini. Bisa kan?"

Eh, apa? Prof. mengangkatku sebagai asistennya? Nggak salah nih? Ah seseorang, tolong cubit aku sekarang. Katakan aku sedang bermimpi. Katakan ini tidak nyata. Ya, katakan ini ilusi. Aku memandang profesor dalam diam. Membuyarkan lamunanku, Prof. mengulang pertanyaannya,"Bisa kan?"

Tergagap, aku menjawab, "...i-i-iya Prof. Insya Allah."

Refleks, Prof mengeluarkan senyum tipis. Aku lalu mengangguk dan pamit undur diri. Kali ini, aku benar-benar melangkahkan kakiku keluar dari ruangan. Masya Allah, hari ini aku benar-benar dibuat terpana oleh skenario hidup dari langit. Begitu lembut, kaku dan tak disangka-sangka. Pertanyaan terkeren hari ini adalah memangnya Prof. tidak marah ya, aku menggunakan ruangannya untuk shalat?

Tiba-tiba saja rasa haru dan kagum bercampur menjadi satu. Profesor menjadi sosok pemimpin yang begitu besar di mataku. Seperti khalifah Umar bin Al-Khattab Al-Faruq yang selalu berkata lantang kepada rakyatnya, "Sesungguhnya urusan kalian yang paling utama dan paling penting di depanku adalah ibadah shalat, barangsiapa yang menjaganya maka ia benar-benar telah menjaga agamanya, dan barangsiapa yang menyia-nyiakannya maka ia lebih menyia-nyiakan urusan yang lain." (HR. Imam Malik).

Alhamdulillah Tabaarakallahu Ta'ala. Hari ini hatiku senang. Bukan karena tidak kena marah atau karena dipercaya sebagai asisten dosen. Ini lebih karena orang-orang di sekitarku begitu menghangatkan, laksana cahaya di atas cahaya. Subhanallah, selalu memberikan motivasi dan fasilitas dalam berbuat kebaikan. Ditambah lagi, tak pernah luput menomorsatukan akhlak yang baik. Ah betapa nikmatnya hidup berukhuwah.

Suasana hatiku begitu riang. Bahkan ketika ada yang mengetuk kepalaku, aku tak akan gusar tuh. Syalalala. Eh tunggu dulu. Tadi Prof. bilang mata kuliah apa? Material elektroteknik, huh? Ma-te-ri-al? Sepupunya medan elektromagnetik yang berisi rumus mematikan beserta turunannya itu? Uhuk, gawat! Itu mata kuliah yang dulu paling kubenci. Gila, tingkat stressku sepertinya meningkat. Arghhh!


Makassar, 26 Januari 2013 M / 14 Rabiul Awal 1434 H
*) Tulisan ini kudedikasikan untuk Peri Aurora.
Bagaimana, apa aku sudah sedikit berubah?
Hahaha, peace!


“Artikel ini diikutsertakan dalam Giveaway Senangnya Hatiku

View Post
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Peri Cahaya menggigit bibir bawahnya. Sedikit gusar, dia berteriak kepada pengawalnya. Dia meminta segala akses ke istana cahaya diputus. Tak peduli apapun yang terjadi, tak seorang pun diizinkan untuk berkeliaran. Bahkan dia mewanti-wanti, tak boleh ada jejak-jejak cahaya yang tersisa. Sehingga tak akan ada yang tahu dimana keberadaannya sekarang. Ah sebenarnya itu mustahil, toh Peri Cahaya sudah terlambat untuk bersembunyi. Apalagi ini sudah masuk masa genting. Dan dia seperti mati rasa. Untuk sementara waktu, satu-satunya solusi yang terpikir olehnya adalah mengisolasi diri dari negeri luar.

Ini Genderang Perang!
Dia seperti mati rasa - Credit

"Apa kau tahu kenapa dia il-feel padamu?" tanya Peri Aurora. Perlahan, Peri Cahaya menggeleng. Kedua manik matanya memandang lurus, tak memberikan jawaban. Tak lama, Peri Aurora mendesah dan melanjutkan bicaranya, "Menggores langit yang bermandikan cahaya dengan tinta absurd, lengah dan terperdaya oleh omongan troll, meninggalkan jejak di hutan terlarang dan bertingkah laku di luar tata krama peri. Sungguh prestasi yang menyesakkan. Maka pantaslah jika dia menginginkan sosok yang lebih baik darimu."

Peri Cahaya tersenyum kecut. Huh, maka janganlah memaksakan diri untuk mendekat. Dia tahu, dia bukan makhluk sempurna. Dia bahkan punya banyak celah. Namun tak disangkanya, dia akan dicela sesempurna itu. Dia kesal tapi tak bisa marah. Toh sekuat apapun dia menyangkal, orang-orang hanya akan melihat apa yang terlihat dari luar, dan menurut mereka itulah yang benar.

Seperti yang Harper Lee katakan dalam buku To Kill A Mockingbird, "Kau tak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya." 

Nah di atas semua itu, hey kau yang begitu mudahnya mengobrak-abrik pribadi seseorang dan menilainya hanya dengan sebelah mata. Pernahkah kau sungguh-sungguh ingin tahu bagaimana rasanya menjalani hidup orang lain? Pernahkah kau sungguh-sungguh ingin tahu bagaimana seorang Peri Cahaya menjalani hidupnya sehingga kau bisa dengan mudahnya mengatakan dia seperti ini dan seperti itu? Lucu sekali, situasi ini benar-benar membuat jantung gatal!

Kedua pipi Peri Cahaya merona, dia menahan getaran tak terdefinisi. Kemudian seulas senyum tersinggung di bibirnya, dia menatap Peri Aurora dan berkata, "Sampaikan terima kasihku padanya. Ternyata ada orang yang begitu peduli padaku. Sayangnya, bukannya memenangkan hatiku. Dia malah benar-benar berhasil mempermalukanku. Tahukah kau, aku merasa begitu terhina." 

"Tapi bagaimanapun, kau harus tetap introspeksi diri. Ini serius, untuk hal-hal yang berkelanjutan di masa yang akan datang nanti." kata Peri Aurora lembut.

Peri Cahaya mengangguk lemah. Tentu saja tak akan berakhir di sini. Bukankah ini baru awal?  Dia melipat tangan di depan dada lalu bertutur, "Hanya saja, aku tak bisa secepat itu berubah. Dan yang lebih penting lagi, aku tak akan berubah hanya karena dia! Hanya karena seorang manusia!" 

Teriakan Peri Cahaya memecah peredaran jantung. Dia pun berusaha mengontrol napasnya. Ada segurat rasa yang tak bisa dia jelaskan. Terus terang, dia kecewa. Bukan karena dia dinilai secara sembrono lalu dipaksa untuk berubah sesuai nilai yang dianggap lebih pantas. Bukan karena itu. Sama sekali bukan. Dia kecewa karena tidak dipercaya. Bagaimana mungkin kesan pertama bermula dari kecurigaan tak beralasan? Rasanya benar-benar menyedihkan.

Detik berikutnya, Peri Cahaya kembali berseru, "Lalu apa? Satu-satunya cara melumpuhkan kekacauan yang terjadi adalah..." perkataannya tertahan di tenggorokan, ada haru yang menyeruak tiba-tiba. Setelah menghela napas, Peri Cahaya menuntaskan kalimatnya, "...adalah dengan melenyapkan Kemilau Cahaya Emas tanpa sisa. Meruntuhkannya. Membumihanguskannya atau apalah namanya. Menghapusnya."

"Tidak! Apa-apaan itu? Kalau kau menghancurkannya lalu bagaimana denganku? Langit yang bermandikan cahaya adalah tempat yang nyaman bagiku. Apa kau tega menghilangkan satu-satunya tempatku melepas rindu ketika aku tidak bisa bertemu denganmu?" cerca Peri Bulan yang tiba-tiba muncul. Nuansa kaget menyelimuti udara kala itu. Peri Cahaya tersenyum canggung.

Dengan lincah, Peri Bulan mengguncang bahu Peri Cahaya. Dia berseru tegas, "Pikiran yang salah, ngawur dan asal-asalan! Memangnya dia siapa? Benar-benar menyebalkan. Hey, ayolah buka matamu lebar-lebar dan lihat sekitarmu. Begitu banyak orang-orang yang terinspirasi karenamu. Begitu banyak hikmah yang bisa diambil dari tulisanmu. Kalau begitu saja dia tidak mengerti, dia tidak pantas mendapat perhatianmu!"

Mendengar raung Peri Bulan yang hampir frustasi, Peri Cahaya merasakan kehangatan. Well, dia tersadar, dia tidak boleh berpangku tangan. Memang ada hal-hal yang harus dimodifikasi dari tingkah lakunya, seperti yang dikatakan Peri Aurora. Namun dia juga tidak bisa meninggalkan Kemilau Cahaya Emas begitu saja, seperti yang dikatakan Peri Bulan. Dia harus menyatupadukan keduanya.

Dum! Durudum! Dum!

"Hey, apa kalian dengar suara itu?" tanya Peri Cahaya yang dijawab kedua peri lain dengan rona wajah kebingungan. Peri Cahaya mengerutkan alis, tak percaya. Jelas-jelas tadi ada suara berisik yang cetar membahana badai. Ah yang benar saja, masa hanya dia yang mendengarnya? Setelah memastikan ternyata Peri Aurora dan Peri Bulan benar-benar tidak mendengar suara asing itu, Peri Cahaya tertawa geli.

"Biar kuulangi untuk kalian. Dengarkan baik-baik. Dum! Durudum! Dum!"
"Iya, iya dengar kok. Apaan sih memangnya?"
"Ini genderang perang!"
"Haaaaaaaaah?"

"Aku bukan orang bodoh yang akan berdiam diri saja setelah diintimidasi begini. Aku tahu, aku lemah lagi tukang takut, tapi aku mau mencoba bersikap berani! Ya, karena keberanian adalah saat kau tahu kau akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap memulai dan merampungkannya, apapun yang terjadi. Makanya aku akan memberanikan diri tetap mempertahankan ciri khasku dengan meminimalisir celaan yang timbul."

"Bagaimana caranya?"
"Entahlah. Yang jelas, sebagai langkah awal, aku akan membangun tembok tak terlihat."
"Faktanya, kau ini benar-benar bodoh, tahu!"
"Oh, terima kasih."
"Dan sinting."
"Yup."

Peri Aurora dan Peri Bulan melirik Peri Cahaya yang asyik dengan pikirannya sendiri. Spontan, mereka mencubit pipi Peri Cahaya dengan gemas. Tak ayal lagi, Peri Cahaya tertawa terbahak-bahak. Karena tertawa itu menular, Peri Aurora dan Peri Bulan pun akhirnya menghiasi udara dengan tawa.


Makassar, dengan membawa balutan luka transparan
22 Januari 2013 Miladiyah / 9 Rabiul Awal 1434 Hijriyah
Kalau menginginkanku, tunjukkan bahwa kau memahamiku

View Post
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Hey, kau. Berhentilah menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada dalam khayalmu. Dan aku juga tidak mau bersusah payah mencari tahu. Aku takut menyadari kalau kau ternyata benar-benar memusatkan perhatian padaku. Entah kenapa aku tidak bisa menerima keadaan bahwa saat ini kedua matamu berbinar untukku. Aku takut kau jatuh cinta padaku. Aku merasa bersalah.

(ღ˘⌣˘ღ)

September 2009 Miladiyah
Dear Diary, ini pertama kalinya aku melihat sosok yang dalam sekejap mata mampu menghangatkan hatiku.  Apakah ini yang namanya jatuh pada pandangan pertama? Well, aku tidak tahu. Yang aku tahu, saat ini aku memerhatikan tingkah polosnya dengan seksama. Sesekali dia cemberut saat harapnya tak terkabul. Sesekali dia tertawa lepas saat keusilannya memuncak. Ah, dia begitu sederhana, gampang ditebak dan manis. Terlebih lagi ketika dia tersenyum, kedua pipinya memancarkan rona kemerah-merahan seperti buah apel yang ranum. Maka pantaslah jika dia diberi nama Humaira.

Mei 2011 Miladiyah
Dear Diary, ternyata tidak mudah untuk membuat seseorang merasakan hal yang sama. Padahal aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin dia melihatku seperti aku melihatnya. Sayangnya hukum Newton yang ketiga tidak berlaku di sini. Ya, hukum aksi-reaksi yang kuinginkan itu tak teraplikasi dengan baik. Karena sebesar apapun aksiku untuk memikat hatinya, Humaira tetap bergeming. Dia tidak mengeluarkan reaksi sedikit pun. Aku jadi mati gaya, sebenarnya apa yang salah di sini?

Sampai suatu hari, aku mendapatkan kesempatan untuk mendekatkan hatinya padaku. What a day! Sungguh takdir yang manis. Bayangkan saja, saat itu aku yang sedang berjalan di sampingnya, berusaha menyembunyikan senyum yang meletup-letup. Bahkan hanya dengan menemaninya pergi membeli roti isi cokelat, sudah membuatku girang bukan kepalang. Bagiku, itu adalah sepuluh menit yang berharga. Apalagi ketika menyeberang jalan, spontan Humaira menggenggam tanganku dengan erat. Aku surprise tingkat tinggi, itu adalah sentuhan pertamanya padaku sejak aku mengenalnya hampir dua tahun lalu! Dan hebatnya, itu dilakukannya atas inisiatifnya sendiri. Ups, aku sudah tak bisa menyembunyikan senyumku lagi. Maaf, aku tertawa seperti orang gila di tengah jalan raya.

Red Apple
Red Apple on Your Cheek - Taken from here.

Januari 2013 Miladiyah
Dear Diary, detik ini juga, mohon sembunyikan aku. Lenyapkan saja aku dari bumi. Aku bisa gila! Atau jangan-jangan aku sudah gila? Oh Ya Allah, perutku mules, napasku tak beraturan dan jantungku berdebar-debar.

Aku menatap Humaira lekat. Aku mencoba berbicara tetapi kalimatku tercekat di tenggorokan, "Hey, kau. Berhentilah menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada dalam khayalmu. Dan aku juga tidak mau bersusah payah mencari tahu. Aku takut menyadari kalau kau ternyata benar-benar memusatkan perhatian padaku. Entah kenapa aku tidak bisa menerima keadaan bahwa saat ini kedua matamu berbinar untukku."

Aku mencoba menenangkan diri dan mencerna perkataan yang Humaira lontarkan padaku. Aku bersikeras tidak histeris ketika dia mengulangi kalimatnya, "Aku suka. Aku sudah membaca buku Kemilau Cahaya Emas sampai habis. Suka sekali."

Aku berbisik dan kupastikan Humaira tak mendengar apa yang aku katakan, "Hey, kau. Berhentilah menatapku. Aku takut kau jatuh cinta padaku." Tanpa sadar aku berlari menjauhi Humaira. Aku tidak ingin Humaira menyukaiku. Er-rr, oke aku tidak bisa bohong.

Aku ingin Humaira menyukaiku. Lalu apa masalahmu?  Aku tidak ingin Humaira menyukai bukuku. Loh bukankah bukumu adalah dirimu? Aku tahu itu, aku hanya tidak bisa menerima kondisi kalau Humaira membaca bukuku. Hey sebenarnya kau menginginkan perhatiannya tidak sih?  Aku takut, tahu! Apa yang membuatmu takut?  Aku takut Humaira mengikuti fikrah dan akhlakku yang masih jauh dari kata sempurna. Kau mulai aneh.  Bukankah jika jatuh cinta, seseorang akan condong kepada yang dicintanya? Pikiranmu terlalu jauh!  Ck, diam dan berhentilah berputar-putar dalam otakku! Arghh, aku sudah sinting. Aku bahkan kalah debat dengan pikiranku sendiri.

Aku masuk ke dalam rumah dan menemukan ibunya Humaira duduk bersimpuh usai menunaikan shalat Ashar. Melihat kedatanganku, beliau tersenyum lembut dan memanggilku mendekat. Aku langsung menghambur ke pangkuan beliau. Gejolak rasa dalam dadaku semakin menjadi-jadi. Hampir-hampir aku menangis. Aku tak habis pikir, "Ummi, bagaimana mungkin Humaira membaca buku yang kuberikan pada Ummi?"

Tak kusangka, ibunya Humaira tertawa. Beliau mengelus kepalaku. Ugh, konyolnya aku. Tingkahku kekanakan sekali. "Tante Maya..." Humaira memanggilku dari arah belakang. Saat aku menoleh padanya, jantungku seakan berhenti berdetak. Dengan senyum manis yang membuat pipinya tampak kemerahan, dia memperlihatkan buku Kemilau Cahaya Emas. Aku salah tingkah dan gugup luar biasa. Perlahan Humaira mendekatiku, dia membuka lembar pertama buku Kemilau Cahaya Emas. Di sana tertulis satu kalimat yang digores dengan pensil, "I like it."

Aku berteriak dalam hati. Aku merasa sangat buruk sekarang. Ingin kukatakan pada Humaira, "Hey, kau. Berhentilah menatapku. Aku merasa bersalah padamu."  Namun kalimat itu tak jua bisa tersampaikan. Tanpa aba-aba, Humaira bercerita bagaimana dia bisa menemukan buku itu di atas meja kerja ibunya. Bagaimana dia mulai membaca buku itu. Bagaimana dia mulai menyadari bahwa penulis buku itu adalah aku. Dan bagaimana dia mulai menyukai buku itu.

Tiba-tiba gunung es di hatiku mencair. Aku luluh dengan kepolosannya. Aku bertanya, "Humaira kelas berapa sekarang?"  Seketika dia terlihat senang sekali, "Tante Maya, mau membuatkan teka-teki ya? Tapi jangan yang susah-susah, aku masih kelas 3 SD." Aku takjub mendengarnya. Setengah hatiku tertawa. Setengah yang lain merajut rasa bersalah bahwa aku sudah meracuni pikiran gadis mungil berusia 8 tahun. Aku bahkan tidak berani melihat wajah ibunya sekarang.

"Tante Maya, Humaira juga mau menjadi seperti Tante Maya." celetuk ibunya Humaira. Aku menengadahkan wajah. Melihat ketulusan di wajah beliau, aku merasa begitu terharu. Humaira melingkarkan lengannya padaku, "Tante Maya, aku mau menjadi seperti Tante Maya. Aku mau menjadi seorang dokter bedah." Aku tersenyum mendengarnya. Ketakutanku jadi sedikit berkurang. Toh Humaira tidak akan menjadi sepertiku. Hey, ayolah! Aku bukan dokter bedah. Hahaha. Aku menatap Humaira sembari tertawa lepas.

Masya Allah, aku banyak mengambil hikmah dari kejadian ini. Aku harus introspeksi diri. Dan lebih penting lagi, aku mulai meningkatkan kewaspadaanku dalam menulis. Karena tak ada yang tahu, siapa gerangan yang akan terinfeksi virus tulisanku. Fiuh, ternyata mempertanggungjawabkan tulisan itu sangat berat. Lalu hikmah berikutnya, tentang pandangan pertama Humaira.

Tahu tidak, Humaira menatapku lekat. Akhirnya tiba juga hari dimana Humaira merasakan apa yang aku rasakan. Dia menunjukkan reaksi atas aksi yang kulakukan. Kali ini aku harus berterima kasih pada Isaac, bahwa hukum Newton-nya berhasil. Walaupun ada masa-masa dimana aku merasa keberadaanku tidak diakui oleh Humaira. Bahkan pandangan pertamaku padanya bukanlah pandangan pertamanya padaku. Sungguh, semua itu tak jadi masalah lagi sekarang. Toh saat ini aku merasakan Humaira memandangku seperti saat aku memandangnya pertama kali. Ya, detik ini adalah pandangan pertama Humaira padaku. Pandangan pertama yang terlambat tiga tahun.



View Post
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Cahaya lampu dari mobil Honda CR-V itu masih setia berpendar di belakang kami. Guyuran hujan tak sedikit pun mengalihkan perhatianku padanya. Seraya memicingkan mata, aku berusaha melihat penghuni mobil berwarna putih tulang itu. Aku mengerutkan kening lalu berbisik pada Ulfa, "Hey, katakan kalau aku sedang bermimpi. Bukankah dari tadi mobil itu membuntuti kita?"

Ulfa terhenyak, "Er-rr, itu bukan mimpi, Kak Maya. Sedari tadi, hal itu juga mengganggu pikiranku. Ada apa gerangan dengan mobil itu? Tunggu, jangan-jangan itu fans yang tengah mengincar cinta salah seorang dari kita?"

Mobil Honda CR-V

Raut cemas bermunculan, aku dan Ulfa bertatapan. Lalu tawa pun meledak. Belum sempat aku mengucap sepatah kata, Kak Hera memelototi kami. Dia berkata, "Ya, kalian berdua sedang bermimpi! Jadi tolong tenang sedikit, aku tidak bisa tidur."

Tawa lebih keras dari aku dan Ulfa pun membahana dalam mobil Avanza yang dikemudikan oleh om Kabil (adiknya mama, red). Di samping om Kabil, ada kak Indra (suami kak Hera, red). Di tengah-tengah mobil, duduk dato Kembang dan kak Hera. Sedang di bangku belakang, aku dan Ulfa berkutat memandangi mobil rombongan kedua yang dikemudikan oleh Yudi. Dalam mobil Honda CR-V itu ada mama, dato nurung dan etta nenek. Kami dalam perjalanan pulang kampung ke kabupaten Bone, sekitar 190 kilometer dari kota Makassar. Kampung yang sudah 15 tahun tidak aku datangi. Kampung yang ditinggali keluarga besar dari pihak mama. Kampung yang membuat bulu kudukku bergidik karena memiliki kisah yang tidak biasa.

Masih ada waktu tiga jam sampai kami tiba di kabupaten Bone. Dibanding tidur, lebih baik aku berbagi cerita kepadamu. Boleh kan? Jujur saja, aku tidak pernah menulis kisah yang membuatku tidak bisa tidur. Apalagi memajang kisah seram tersebut di Kemilau Cahaya Emas. Namun kali ini berbeda. Selain untuk mengasah kemampuanku, tulisan ini untuk event yang diadakan oleh Penghuni 60. Jadi dengarkanlah kisahku baik-baik.

(/_\)

Waktu itu, sepulang dari kampus, aku menemukan Ulfa yang terkapar di tempat tidur. Tergesa-gesa aku meraihnya, "Ulfa, ada apa denganmu? Apa yang sakit?" 

Tak ada jawaban, Ulfa hanya merintih dan memegang perutnya. Aku lekas memanggil mama. Dan tak selang beberapa lama berikutnya, mama membawa Ulfa ke rumah sakit. Aku pun menunggu di rumah dengan perasaan yang tidak menentu. Tidak biasanya Ulfa merasakan sakit perut sampai membuatnya lemah lagi tak berdaya. Sebenarnya apa yang terjadi?

"Tidak terjadi apapun ..." aku menautkan alis lalu Ulfa melanjutkan kalimatnya, "Dokter tidak bisa mendiagnosis penyakitku. Katanya perutku baik-baik saja. Namun tetap saja, aku merasa seperti ada sesuatu yang berputar-putar dalam perutku."

Hah? Aku melongo mendengar penjelasan itu. Ulfa mengangkat bahu. Kami berdua pun diam dalam senyap. Perihal sakit yang tak terdeteksi secara medis itu tak pernah kami bahas lagi. Sampai beberapa hari kemudian, aku menemukan Ulfa yang merintih sakit perut padahal dia tidak sedang datang bulan. Kebingungan memaksa masuk ke dalam otakku. Tak terpikirkan hal lain, aku hanya memberikan obat pereda maag padanya.

Esoknya, lagi-lagi Ulfa mengadu pada mama tentang keanehan yang dialami perutnya. Aku bahkan bertanya-tanya memangnya sesakit apa rasa sakit itu. Ulfa bercerita, "Entah kenapa, seakan ada sesuatu yang lain pada perutku. Bahkan aku malah merasa itu bukan rasa sakit. Tiba-tiba saja aku merasakan rindu."

Refleks aku mengetuk kepala Ulfa dengan gusar. Dia mengerang pelan, "Apa sih Kak Maya?" Aku membalas dengan tak kalah sewot, "Habisnya kau mengatakan hal yang aneh, tahu!"

"Ulfa, Maya, berhenti! Bukankah selalu ada penjelasan tidak masuk akal untuk setiap kejadian? Sebenarnya Mama pun pernah mengalami apa yang Ulfa alami sekarang. Dan itu karena ..." suara mama terputus saat handphone mama berbunyi. Oh, rupanya papa menelpon.

Walau masih penasaran dengan apa yang akan dikatakan mama, akhirnya aku tetap meninggalkan ruang makan lalu masuk ke kamar. Aku termenung, memang benar kadang kala ada kejadian dengan alasan tak rasional. Bahkan tak jarang ada kejadian yang tak memerlukan alasan. Hanya saja, perlu hati yang lapang dan pikiran yang jernih untuk bisa menerima kejadian itu. Toh suatu saat, alasan yang rasional dan masuk akal itu akan muncul dengan sendirinya. Bukankah begitu?

Ulfa masuk ke kamar dengan muka pucat. Dia bergetar, "Kak Maya, siap mendengar alasan dari segala keanehan yang kurasakan dalam perut?"

Perlahan aku mengangguk, perasaanku tidak enak. Terbata-bata, Ulfa menjelaskan "Tiga puluh tahun yang lalu, Mama pun mengalami sakit perut yang tak bisa didiagnosis oleh dokter. Ketika membahasnya dengan para orang tua, muncullah sebuah kesimpulan. Bahwa yang ada di dalam perut tersebut adalah ..."  Ulfa menelan ludah, "... adalah nenek."

Mataku terbelalak dan napasku tercekat. Ketakutan, Ulfa mengulangi kalimatnya, "Yang ada di dalam perutku adalah nenek buyut yang sudah meninggal dunia."

Aku meremas lengan Ulfa dengan kuat. Ya Allah, cerita macam apa ini? Tiba-tiba rasa dingin menyapu tengkukku. Aku bergidik, apa kau tahu kenapa kau merasa takut ketika sendirian? Apa kau tahu kenapa tiba-tiba udara di sekitarmu menjadi dingin? Apa kau tahu kenapa bulu kudukmu berdiri tegak secara spontan? Itu karena kau menyadari kehadiran makhluk gaib di sampingmu, makhluk tak kasatmata yang unsur penciptaannya sama sekali berbeda dengan manusia. Aku berbisik, "Ulfa, kau membuatku takut."

Ulfa meringis, "Apa Kak Maya pikir aku tidak takut?"  Cepat-cepat, aku mengelus kepalanya. Ulfa sesenggukan. Aku berkata lembut, "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Bukankah kau bilang rasanya seperti rindu? Kemungkinan itu adalah pesan cinta dari para leluhur kita."

"Bentuk cinta dari orang yang sudah meninggal?" tanya Ulfa. Aku mengiyakan, "Anggap saja seperti itu. Jangan lupa mengirimkan doa untuk mereka."

(/_\)

Saat ini Kak Hera menaburkan bunga pada kuburan nenek buyut, Hj. Andi Kabe Petta Kanang. Di sampingnya, berdiri kak Indra yang memayunginya. Aku, Ulfa dan Yudi mendengarkan mama yang mencoba menjelaskan silsilah keluarga kami. Tepat 50 meter dari rumah kami di kabupaten Bone, terdapat pekuburan keluarga. Di sanalah para leluhur kami dikuburkan.

Aku memandang kuburan yang berjejer di hadapanku. Tak lama kemudian, mama duduk di depan kuburan dan mengucap doa dengan khusyuk. Aku pun mengikuti dari belakang.

Mungkin sakit perut itu pertanda bahwa kami tidak boleh melupakan orang yang sudah meninggal dunia. Toh di antara kebaikan yang bermanfaat untuk mayit muslim setelah ia meninggal dunia adalah do’a tulus yang diberikan oleh orang yang masih hidup. Do’a tersebut mencakup do’a rahmat, ampunan, meraih surga, selamat dari siksa neraka dan berbagai do’a kebaikan lainnya.

“Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalannya
kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan,
atau do’a anak yang sholeh.” (HR. Muslim no. 1631)

Aku mengalihkan mata, membuat pandanganku bertumbukan dengan Ulfa. Dia tersenyum pelan. Aku membalasnya dengan senyum yang tak kalah pelan. Dalam hati aku berucap, "Nenek, kami datang. Maaf sudah menunggu. Kami tidak akan pernah melupakan hikmah dari kejadian ini, selamanya."



3 Years of Blogging Giveaway Penghuni 60
Tulisan ini diikutsertakan dalam 3 Years of Blogging Giveaway
yang diselenggarakan oleh Penghuni 60

View Post
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Kepada jingga,
Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Aku lupa. Tepatnya, lupa karena aku tidak ingin menghitungnya. Aku hanya tidak mau mengetahui seberapa banyak waktu yang telah terlalui tanpa dirimu. Menyesakkan ya? Ah, sudahlah. Pertanyaan pentingnya adalah apa kau merindukanku? Rindu banget atau rindu saja? Kau tahu, aku menerima  pesan cinta dari awan putih. Katanya, "Aku rindu." Dan itu benar-benar mengetuk kesadaran hatiku. Seakan-akan dia berkata, "Kemana saja kau selama ini? Apa yang sedang kau lakukan?"

Huufftt, biarkan aku menghela napas sejenak. Aku ingat masa ketika kau juga mempertanyakan keberadaanku. Dengan payahnya, aku bercerita tentang Putri Cahaya yang tak berada di istananya. Ya, dia pergi dan tengah tersesat dalam gulitanya black hole. Dia baru bisa pulang setelah menyinari hati Putri Tidur. Kau pun menanti dirinya, menanti kesempatan agar dia bisa menyinari duniamu lagi. Sayang beribu sayang, sampai hari ini dia tak kunjung kembali. Padahal hati Putri Tidur sudah nampak kemerah-merahan apalagi dengan Pangeran Yaris Merah yang bersanding di sisinya. Lalu kemana Putri Cahaya? Jangan tanya padaku. Sejujurnya aku juga tidak tahu. Aku masih sementara menyelidikinya.

Percayakah kau, kalau misalnya Putri Cahaya pun bisa kehilangan kilaunya? Aku tak percaya. Namun akhir-akhir ini kepercayaanku mulai runtuh sedikit demi sedikit. Aku sedang memikirkan kemungkinan bahwa Putri Cahaya tidak kemana-mana, sosoknya tetap beredar. Hanya saja, dia tak terlihat karena tak lagi bersinar. Dia egois, keras kepala dan sok sibuk. Waktunya habis untuk memikirkan urusannya sendiri. Sungguh menyebalkan, isi otaknya penuh dengan belajar, belajar dan belajar. Mau bukti? Bedah saja isi kepalanya. Dan kau tak akan menemukan dirimu di dalamnya. Untuk orang seperti dia, apa kau masih mau menyimpan rindumu? 

Kalau jawabanmu iya, lebih baik bekukan saja rindumu untuknya. Karena bisa jadi rindumu akan kadaluarsa jika mencair. Eh memang ada ya rindu yang kadaluarsa? Bagi Putri Cahaya sih sepertinya ada. Toh dia seakan berada di dimensi waktu yang berbeda. Tak elak lagi, dia itu bodoh jadi apapun mungkin saja terjadi di dunianya. Lalu coba katakan padaku, sebenarnya apa yang kau cari dari Putri Cahaya? Ehem, aku punya sedikit saran untukmu. Jika bertahan begitu menyakitkan bagimu, mungkin menangis bisa membantu. Aku tidak menyuruhmu menjadi cengeng. Hanya saja aku ingat, kau pernah bilang, "Ini bukan negeri pasir, meski banyak debu. Dan aku juga tidak punya musim dingin. Aku tak akan memaksa siapapun untuk tetap bersamaku."  Dan aku tahu Putri Cahaya akan ke negeri pasir dalam waktu dekat ini dan kembali ke negeri sakura awal musim dingin Insya Allah. Makanya aku jadi bertanya-tanya, kau menyerah atas keadaan atau atas dirinya?

Daun Cinta yang Berguguran

Tunggu, kenapa isi suratku jadi aneh begini? Padahal kau memintaku menulis sesuatu untukmu. Waduh, aku malah berkoar panjang lebar tentang Putri Cahaya yang payahnya nggak ketulungan itu. Ya, tak salah lagi. Tentang dia, tentang aku, si Putri Cahaya belagu. Ah, maaf ya. Bagiku, akan lebih masuk akal jika aku memisahkan antara diriku dan Putri Cahaya. Itu membuatku mudah untuk mencela diriku sendiri. Itu membuatku mudah untuk mengabarkan bahwa aku menjadi sosok yang lain. Itu membuatku mudah memaafkan tingkahku yang mengabaikanmu. Namun faktanya, aku tetap aku. Putri Cahaya tetap Putri Cahaya. Eh, salah. Aku tetaplah Putri Cahaya. Jadi apa kau masih mau bertemu denganku?

Jujur saja, aku tidak punya kepercayaan diri untuk bertemu denganmu. Aku merana, memikirkan aku telah melukaimu terlalu dalam. Kau bisa saja benci padaku. Apalagi aku tak bisa memaksamu untuk mengerti keadaanku sekarang. Aku juga belum bisa menjanjikan apa-apa padamu. Tahukah kau, aku makhluk paling norak sedunia. Karena seburuk apapun diriku saat ini, jauh di lubuk hatiku, aku masih sangat berharap kau tidak melepaskanku. Kau tidak boleh tidak peduli padaku. Kalau kau mau marah ya marah saja. Jangan hanya diam, pergi dan menunggu. Bukankah kata-kata ada untuk menyampaikan perasaan? Kalau merasa butuh, panggil aku. Bagaimanapun caranya, kau harus bersikeras memanggilku. Karena aku membutuhkanmu dan aku tidak mau tenggelam dalam pikiran yang bahkan tak ada kau di sana. Aku ingin kau membuat sanubariku tetap terjaga untukmu. Aku ... argh, aku bisa gila. Maaf, di masa-masa sulit seperti ini, aku malah bertindak kekanakan. Aku hanya tidak ingin memikirkan kemungkinan kehilanganmu. 

I love you.
Sorry, that’s not true.
The truth is that I really love you.
I won’t ever hurt you.

Bohong, kenyataannya aku tak ada di sisimu saat kau mengirimkan pesan kesepian. Kau bilang kau merasa sangat sedih waktu itu. Parahnya, aku tak bisa melakukan apa-apa untukmu. Bahwa aku menjadi sosok yang paling cuek, kau pasti sudah tahu benar akan hal itu. Tanpa sadar, aku melukaimu. Bahkan bukan hanya dirimu. Bagaimana ini, aku merasa layaknya seorang yang gagal. Apa aku akan kehilangan sesuatu yang berharga? Tiba-tiba saja aku merasa telah melukai orang-orang yang menyayangiku. Dan dalam hujan yang mengguyur beserta badai yang menggaung, hatiku begitu sendu. Seakan guyuran air dari langit itu memanggil-manggil namaku, menginginkanku turut ikut melebur bersamanya ke ujung samudra. Menjadi sosok yang terlupakan, menjadi buih yang lenyap tak bersisa.

Ck, khayalan yang kusut lagi mengusutkan. Setelah dipikir-pikir, aku tidak akan lenyap. Aku bukan Putri Duyung, ingat? Dan bagaimanapun, aku tidak akan pernah menjadi buih di lautan. Nyatanya aku Putri Cahaya. Sosok penuh kilauan emas yang selalu menuangkan satu senti kebahagiaan kisah hidupnya. Kisah kali ini pun, tertulis sepolos rintik air yang menggenang di pelupuk mata. Hey, apa kau tahu, akhir-akhir ini sangat sulit melihat Jingga. Terlebih lagi di senja yang berawan hitam lagi berkabut. Karenanya, dalam masa-masa kekacauan hati ini, aku sering melukis Jingga. Aku menyusun ingatan demi ingatan tentang dirinya. Sesekali aku tertawa dibuatnya. Sesekali aku terharu dibuatnya. Aku jadi tersadar, aku merindukannya.


Makassar, dalam gulita tanpa aliran listrik
10 Januari 2013 Miladiyah / 26 Safar 1434 Hijriyah

View Post
Bismillaahirrahmaanirrahiim


Tok! Sret! Tok!
Terdengar bunyi langkah kaki beriringan dengan gesekan roda sepeda di sepanjang jalan yang kulalui. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, kali ini derap langkahku tak sendirian. Aku berjalan kaki ke dormitory sepulang kampus bersama seseorang yang menenteng sepedanya. Eh tunggu, kemana dia?

Aku celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri tapi tak jua menemukannya. Ketika aku berbalik ke belakang, sosoknya tengah berhenti seolah menunggu sesuatu. Dia mengisyaratkan sesuatu yang tak kumengerti. Apa yang dilakukannya? Dengan wajah yang masih meraut tanya, aku pun kembali berjalan. Ups! Jantungku melompat. Ya Allah, hampir-hampir aku menabrak sepeda yang terkayuh ke arahku. Aku menghindar secepat kilat. Saat itu aku menyadari kalau tadi dia berhenti untuk menunggu sepeda dari arah berlawanan itu melaju terlebih dahulu. Maklum, trotoarnya kecil.

Menit berikutnya, dia jadi sering bersuara, memperingatkanku untuk lebih hati-hati berjalan. Sesekali aku menoleh ke arahnya. Terlihat jelas rona cemas yang terpancar. Jujur, karenanya aku jadi semakin ceroboh berjalan. 

“Awas-awas! Ini kan bahaya, ayo Maya jalan di depan duluan saja. Tidak usah ngobrol dulu.” katanya padaku setengah memerintah. Aku tersenyum, memperbaiki gerak jalanku dan mengunci mulutku rapat-rapat. Rasanya seperti punya kakak laki-laki yang walaupun kau bertindak bodoh sekalipun, dia akan tetap memperhatikanmu. Bukankah hati akan tergelitik untuk beraksi sebagai adik yang usil jika mendapat perlakuan seperti itu?

halaman asrama internasional chiba

Beberapa langkah ke depan, aku tetap terdiam. Pikiranku membuana ke satu bulan yang lalu, ketika aku menunggu kedatangannya di ruang tunggu terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Saat itu dia datang dengan senyum yang menghias wajahnya. Aku yakin itu pertemuan pertamaku dengannya. Aku yakin aku tidak pernah mengenalnya. Aku yakin aku dan dia adalah orang asing satu sama lain. Akan tetapi dengan sopan dan tanpa kekakuan sedikitpun, dia menunjukku lalu memperkenalkan namaku kepada rekan-rekan sesama peserta short stay seolah ikatan pertemanan sudah terjalin sebelumnya. Takjub, aku bertemu dengan seseorang yang begitu mudah bergaul, berbaur dengan orang yang baru pertama kali ditemuinya. Karena belakangan, dia akhirnya sadar akan betapa asingnya dia untukku dan aku untuknya. Dia hanya tertawa kemudian memperkenalkan dirinya secara singkat padaku.

Ketika aku bertanya nama panggilan apa yang sebaiknya kusematkan untuknya, dia malah mengerutkan alis dan berkata aku boleh memanggilnya dengan nama apa saja. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya tapi dia itu benar-benar orang yang tak mudah ditebak. Aku salah menaksir sosoknya ketika pertama kali bertemu. Kupikir dia lebih tua lagi. Habisnya tutur bahasa email dan sms-nya lebih dewasa dibanding penampilannya. Yah, walau image dewasa itu begitu cepat runtuh karena ulahnya yang konyol. Tipe orang yang keberadaannya terasa nyata karena guyonannya. Kadang aku malah tidak tahu, apa dia sedang bercanda atau tidak.

Ibarat warna, dia adalah kuning. Seseorang yang berjiwa muda, selalu gembira dan penuh imajinasi. Benarkah? Aku rasa begitu, toh dia memang mengambil kuning sebagai warna kesukaannya. Tahu tidak, baju, sweater, jaket dan barang-barang miliknya yang lain selalu berwarna kuning loh. Heran, bisa-bisanya ada orang yang begitu fanatik dengan kuning. Bahkan dia tidak malu dipanggil si Kuning. Kok bukan pink saja ya? Hahaha.

Ehem, kalau disebut kata kuning, yang teringat olehku adalah mawar kuning. Simbol ikatan antara dua anak manusia yang tidak memekarkan cinta. Ya, simbol yang tidak lebih dari sebuah ikatan yang bernama persahabatan. Apa ini sebabnya dia begitu mudah menemukan seorang sahabat? Harapku untuknya, semoga dia pun akan mudah menemukan cinta yang manis.

Jarang-jarang aku melihatnya bicara begitu serius seperti saat ini. Bahkan aku lebih banyak mengenyam diam untuk sejenak dua jenak mencerna kalimatnya. Selalu ada rahasia di balik rahasia ya? Kau tak akan pernah tahu bagaimana wajah seseorang tanpa topeng jika kau tak pernah berada di kamar riasnya. Malam ini aku diberi kesempatan untuk menengok sedikit sisi lain dari dirinya.

Katanya aku beruntung bisa bertemu dengannya di sini, di negeri Ginko. Kesempatan yang begitu langka karena dia adalah seseorang yang spesial di mata dunia. Uh, bukannya sebaliknya? Kan dia yang beruntung bisa bertemu denganku. Iya kan? Ups syalala.

Awalnya aku pikir dia bukan tipe pemikir loh. Soalnya kan terlihat seolah tak punya beban pikiran. Namun sepertinya aku harus mengoreksi kamus pengamatanku tentangnya. Bahkan kata aneh pun sebaiknya aku sematkan untuknya. Hahaha. Habisnya kadang kala dia itu sering terdiam tanpa kata walau sekitarnya begitu riuh redam. Entah apa yang tengah berkecamuk dalam imajinya. Kalau lain kali aku bisa masuk di kamar riasnya lagi, mungkin aku akan menemukan jawabannya.

Gedung asrama sudah terlihat. Aku berlari kecil masuk ke gedung kamarku. Sebelumnya, tak lupa aku ucapkan terima kasih karena telah menemaniku berjalan kaki dengan menenteng sepeda. Dia mengangguk dan membiarkanku lenyap dari pandangannya terlebih dahulu sebelum akhirnya berbalik ke gedung kamarnya sendiri.


Kokusai-koryu-kaikan, lewat tengah malam
12 November 2012 Miladiyah – 26 Dzulhijjah 1433 Hijriyah
Untuk seorang teman yang mengajari cara untuk tidak mengeluh

View Post
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Buku ini untuk penyuka figur pahlawan. Namun bukan sembarang pahlawan.
Dia yang mencari nafkah tanpa lelah untuk mengayomi keluarga,
dia yang menjadikan anak laki-lakinya kuat seperti dirinya,
dia yang paling marah ketika anak perempuannya diganggu.
Ya, buku ini tentangnya, tentang ayah. Sketsa Ayah.

Buku Antologi Sketsa Ayah

Judul: Sketsa Ayah
Penulis: Novela Nian, Risty Arvel, Nindya Maharani, Deanitha Rizky, dkk
Terbit: November 2012
Penerbit: Pustaka Jingga
ISBN: 978-602-18832-9-7
Tebal:  158 hlm; 14x20 cm
Harga: Rp 31.500,-

Sinopsis:
Ayah, kasihmu sebagaimana rel yang tak berbatas, tak berujung pula. Meski kau telah tertawan, kau tetap menjadi pertahanan dalam arungi kehidupan. Ayah adalah sosok luar biasa yang akan berusaha apa saja semampu yang dia bisa demi kebahagiaan anaknya. Ayahku yang penuh dengan kesederhanaan dan mengajarkan diriku dengan indahnya kesederhanaan. Kasih sayang Ayah tak pernah sehangat Ibu, tapi dinginnya adalah wujud cinta yang bijaksana.

Ayah adalah orang yang selalu melindungiku. Dan Ayah rela mengorbankan nyawanya, demi kebahagiaanku. Ayah, pejuang kehidupanku. Ayah, pahlawan kebanggaanku. Tak kan kubiarkan Ayah menjadi lilin yang menerangi anak-anaknya namun mengorbankan keselamatannya.

Sketsa Ayah Cover

Kontributor:
Musthika Jathiasih, Nurie Syauqie, Nenny Makmun, Lavira Hadi Cahya, Risah Azzahra, Ria Hidayah, Achmad Arifin, Zetsumetshu Ryuu, Chan Oedin, Bondan Al Bakasiy, Tomy M. Saragih, Erlidayanti, Mulyani Katiran, Ocha Thalib, Iffah Elhasan, Nurmayanti Zain, Fitri Icha Masdita, Sarviany Tiacoly.


☆彡  ★彡  ☆彡  ★彡  ☆彡  ★彡  ☆彡  ★彡  ☆彡  ★彡 


Cara Mendapatkan Buku Sketsa Ayah:
1. SMS ke Pustaka Jingga
Ketik : PESAN (Sketsa Ayah) - nama terang - alamat - jumlah buku - no handphone
Kirim ke : 0856-4545-9192
Nanti akan mendapatkan balasan SMS berisi No. Rek dan jumlah biaya yang ditransfer.

2. Email ke Penulis
Tulis : PESAN (Sketsa Ayah) - nama terang - alamat - jumlah buku - no handphone
Kirim ke : admin@nurmayantizain.com
Nanti akan mendapatkan balasan Email berisi No. Rek dan jumlah biaya yang ditransfer.


☆彡  ★彡  ☆彡  ★彡  ☆彡  ★彡  ☆彡  ★彡  ☆彡  ★彡


Behind The Scene:
Alhamdulillah yah, sesuatu. Koleksi bukuku bertambah lagi.  ♪ヽ( ⌒o⌒)人(⌒-⌒ )v ♪  Yippiii syalalala! Sketsa Ayah adalah buku Antologiku yang ke empat. Aku tahu, aku tahu, rasanya jadi berlebihan jika mengabarkan tentang bukuku terus menerus. Ah, biar saja ya. Walaupun ini cuma buku keroyokan, aku tetap suka kok. Ehem, daripada daripada lebih baik lebih baik. Hahaha. Maaf, omonganku jadi kacau.

Sleeping Beauty dalam Sketsa Ayah
Sleeping Beauty dalam Sketsa Ayah oleh Nurmayanti Zain

Buku ini adalah hasil dari proyek gotong royong Warung Antologi yang ke 9 dengan tema Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (Ayah). Semoga para penulis dalam buku ini mampu memberi arti tentang betapa tak terhitungnya perjuangan Ayah. Lalu di akhir buku, terdapat biodata penulis yang dilampirkan bersama foto diri. Penasaran akan cetak biru diriku? Hihihi. Foto yang kumasukkan seperti yang tertera dalam Who I am blog Kemilau Cahaya Emas kok. Ehem... Ehem...  (ღ˘⌣˘ღ)  No need to worry.

Buku Nurmayanti Zain

Seperti judulnya, Sketsa Ayah adalah buku yang berisi 21 kisah tentang ayah. Sleeping Beauty adalah kisah nyata yang kutulis. Bagi yang mengikuti perkembangan blogku, pasti tahu kisah apa yang kumaksud. Well, rasanya agak-agak terharu membaca ulang kisah itu. Eh, kau bertanya kisah yang bagaimana? Itu loh, kisah di kerajaan Zain. Masih belum tahu juga? Hu um, beli bukunya saja ya!  o (◡‿◡✿)  Selamat Membaca!

.:: Salam Ayah ::.

View Post