Bismillaahirrahmaanirrahiim
Hey, kau. Berhentilah menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada dalam khayalmu. Dan aku juga tidak mau bersusah payah mencari tahu. Aku takut menyadari kalau kau ternyata benar-benar memusatkan perhatian padaku. Entah kenapa aku tidak bisa menerima keadaan bahwa saat ini kedua matamu berbinar untukku. Aku takut kau jatuh cinta padaku. Aku merasa bersalah.
(ღ˘⌣˘ღ)
September 2009 Miladiyah
Dear Diary, ini pertama kalinya aku melihat sosok yang dalam sekejap mata mampu menghangatkan hatiku. Apakah ini yang namanya jatuh pada pandangan pertama? Well, aku tidak tahu. Yang aku tahu, saat ini aku memerhatikan tingkah polosnya dengan seksama. Sesekali dia cemberut saat harapnya tak terkabul. Sesekali dia tertawa lepas saat keusilannya memuncak. Ah, dia begitu sederhana, gampang ditebak dan manis. Terlebih lagi ketika dia tersenyum, kedua pipinya memancarkan rona kemerah-merahan seperti buah apel yang ranum. Maka pantaslah jika dia diberi nama Humaira.
Mei 2011 Miladiyah
Dear Diary, ternyata tidak mudah untuk membuat seseorang merasakan hal yang sama. Padahal aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin dia melihatku seperti aku melihatnya. Sayangnya hukum Newton yang ketiga tidak berlaku di sini. Ya, hukum aksi-reaksi yang kuinginkan itu tak teraplikasi dengan baik. Karena sebesar apapun aksiku untuk memikat hatinya, Humaira tetap bergeming. Dia tidak mengeluarkan reaksi sedikit pun. Aku jadi mati gaya, sebenarnya apa yang salah di sini?
Sampai suatu hari, aku mendapatkan kesempatan untuk mendekatkan hatinya padaku. What a day! Sungguh takdir yang manis. Bayangkan saja, saat itu aku yang sedang berjalan di sampingnya, berusaha menyembunyikan senyum yang meletup-letup. Bahkan hanya dengan menemaninya pergi membeli roti isi cokelat, sudah membuatku girang bukan kepalang. Bagiku, itu adalah sepuluh menit yang berharga. Apalagi ketika menyeberang jalan, spontan Humaira menggenggam tanganku dengan erat. Aku surprise tingkat tinggi, itu adalah sentuhan pertamanya padaku sejak aku mengenalnya hampir dua tahun lalu! Dan hebatnya, itu dilakukannya atas inisiatifnya sendiri. Ups, aku sudah tak bisa menyembunyikan senyumku lagi. Maaf, aku tertawa seperti orang gila di tengah jalan raya.
Januari 2013 Miladiyah
Dear Diary, detik ini juga, mohon sembunyikan aku. Lenyapkan saja aku dari bumi. Aku bisa gila! Atau jangan-jangan aku sudah gila? Oh Ya Allah, perutku mules, napasku tak beraturan dan jantungku berdebar-debar.
Aku menatap Humaira lekat. Aku mencoba berbicara tetapi kalimatku tercekat di tenggorokan, "Hey, kau. Berhentilah menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada dalam khayalmu. Dan aku juga tidak mau bersusah payah mencari tahu. Aku takut menyadari kalau kau ternyata benar-benar memusatkan perhatian padaku. Entah kenapa aku tidak bisa menerima keadaan bahwa saat ini kedua matamu berbinar untukku."
Aku mencoba menenangkan diri dan mencerna perkataan yang Humaira lontarkan padaku. Aku bersikeras tidak histeris ketika dia mengulangi kalimatnya, "Aku suka. Aku sudah membaca buku Kemilau Cahaya Emas sampai habis. Suka sekali."
Aku berbisik dan kupastikan Humaira tak mendengar apa yang aku katakan, "Hey, kau. Berhentilah menatapku. Aku takut kau jatuh cinta padaku." Tanpa sadar aku berlari menjauhi Humaira. Aku tidak ingin Humaira menyukaiku. Er-rr, oke aku tidak bisa bohong.
Aku ingin Humaira menyukaiku. Lalu apa masalahmu? Aku tidak ingin Humaira menyukai bukuku. Loh bukankah bukumu adalah dirimu? Aku tahu itu, aku hanya tidak bisa menerima kondisi kalau Humaira membaca bukuku. Hey sebenarnya kau menginginkan perhatiannya tidak sih? Aku takut, tahu! Apa yang membuatmu takut? Aku takut Humaira mengikuti fikrah dan akhlakku yang masih jauh dari kata sempurna. Kau mulai aneh. Bukankah jika jatuh cinta, seseorang akan condong kepada yang dicintanya? Pikiranmu terlalu jauh! Ck, diam dan berhentilah berputar-putar dalam otakku! Arghh, aku sudah sinting. Aku bahkan kalah debat dengan pikiranku sendiri.
Aku masuk ke dalam rumah dan menemukan ibunya Humaira duduk bersimpuh usai menunaikan shalat Ashar. Melihat kedatanganku, beliau tersenyum lembut dan memanggilku mendekat. Aku langsung menghambur ke pangkuan beliau. Gejolak rasa dalam dadaku semakin menjadi-jadi. Hampir-hampir aku menangis. Aku tak habis pikir, "Ummi, bagaimana mungkin Humaira membaca buku yang kuberikan pada Ummi?"
Tak kusangka, ibunya Humaira tertawa. Beliau mengelus kepalaku. Ugh, konyolnya aku. Tingkahku kekanakan sekali. "Tante Maya..." Humaira memanggilku dari arah belakang. Saat aku menoleh padanya, jantungku seakan berhenti berdetak. Dengan senyum manis yang membuat pipinya tampak kemerahan, dia memperlihatkan buku Kemilau Cahaya Emas. Aku salah tingkah dan gugup luar biasa. Perlahan Humaira mendekatiku, dia membuka lembar pertama buku Kemilau Cahaya Emas. Di sana tertulis satu kalimat yang digores dengan pensil, "I like it."
Aku berteriak dalam hati. Aku merasa sangat buruk sekarang. Ingin kukatakan pada Humaira, "Hey, kau. Berhentilah menatapku. Aku merasa bersalah padamu." Namun kalimat itu tak jua bisa tersampaikan. Tanpa aba-aba, Humaira bercerita bagaimana dia bisa menemukan buku itu di atas meja kerja ibunya. Bagaimana dia mulai membaca buku itu. Bagaimana dia mulai menyadari bahwa penulis buku itu adalah aku. Dan bagaimana dia mulai menyukai buku itu.
Tiba-tiba gunung es di hatiku mencair. Aku luluh dengan kepolosannya. Aku bertanya, "Humaira kelas berapa sekarang?" Seketika dia terlihat senang sekali, "Tante Maya, mau membuatkan teka-teki ya? Tapi jangan yang susah-susah, aku masih kelas 3 SD." Aku takjub mendengarnya. Setengah hatiku tertawa. Setengah yang lain merajut rasa bersalah bahwa aku sudah meracuni pikiran gadis mungil berusia 8 tahun. Aku bahkan tidak berani melihat wajah ibunya sekarang.
"Tante Maya, Humaira juga mau menjadi seperti Tante Maya." celetuk ibunya Humaira. Aku menengadahkan wajah. Melihat ketulusan di wajah beliau, aku merasa begitu terharu. Humaira melingkarkan lengannya padaku, "Tante Maya, aku mau menjadi seperti Tante Maya. Aku mau menjadi seorang dokter bedah." Aku tersenyum mendengarnya. Ketakutanku jadi sedikit berkurang. Toh Humaira tidak akan menjadi sepertiku. Hey, ayolah! Aku bukan dokter bedah. Hahaha. Aku menatap Humaira sembari tertawa lepas.
Masya Allah, aku banyak mengambil hikmah dari kejadian ini. Aku harus introspeksi diri. Dan lebih penting lagi, aku mulai meningkatkan kewaspadaanku dalam menulis. Karena tak ada yang tahu, siapa gerangan yang akan terinfeksi virus tulisanku. Fiuh, ternyata mempertanggungjawabkan tulisan itu sangat berat. Lalu hikmah berikutnya, tentang pandangan pertama Humaira.
Tahu tidak, Humaira menatapku lekat. Akhirnya tiba juga hari dimana Humaira merasakan apa yang aku rasakan. Dia menunjukkan reaksi atas aksi yang kulakukan. Kali ini aku harus berterima kasih pada Isaac, bahwa hukum Newton-nya berhasil. Walaupun ada masa-masa dimana aku merasa keberadaanku tidak diakui oleh Humaira. Bahkan pandangan pertamaku padanya bukanlah pandangan pertamanya padaku. Sungguh, semua itu tak jadi masalah lagi sekarang. Toh saat ini aku merasakan Humaira memandangku seperti saat aku memandangnya pertama kali. Ya, detik ini adalah pandangan pertama Humaira padaku. Pandangan pertama yang terlambat tiga tahun.
Dear Diary, ini pertama kalinya aku melihat sosok yang dalam sekejap mata mampu menghangatkan hatiku. Apakah ini yang namanya jatuh pada pandangan pertama? Well, aku tidak tahu. Yang aku tahu, saat ini aku memerhatikan tingkah polosnya dengan seksama. Sesekali dia cemberut saat harapnya tak terkabul. Sesekali dia tertawa lepas saat keusilannya memuncak. Ah, dia begitu sederhana, gampang ditebak dan manis. Terlebih lagi ketika dia tersenyum, kedua pipinya memancarkan rona kemerah-merahan seperti buah apel yang ranum. Maka pantaslah jika dia diberi nama Humaira.
Mei 2011 Miladiyah
Dear Diary, ternyata tidak mudah untuk membuat seseorang merasakan hal yang sama. Padahal aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin dia melihatku seperti aku melihatnya. Sayangnya hukum Newton yang ketiga tidak berlaku di sini. Ya, hukum aksi-reaksi yang kuinginkan itu tak teraplikasi dengan baik. Karena sebesar apapun aksiku untuk memikat hatinya, Humaira tetap bergeming. Dia tidak mengeluarkan reaksi sedikit pun. Aku jadi mati gaya, sebenarnya apa yang salah di sini?
Sampai suatu hari, aku mendapatkan kesempatan untuk mendekatkan hatinya padaku. What a day! Sungguh takdir yang manis. Bayangkan saja, saat itu aku yang sedang berjalan di sampingnya, berusaha menyembunyikan senyum yang meletup-letup. Bahkan hanya dengan menemaninya pergi membeli roti isi cokelat, sudah membuatku girang bukan kepalang. Bagiku, itu adalah sepuluh menit yang berharga. Apalagi ketika menyeberang jalan, spontan Humaira menggenggam tanganku dengan erat. Aku surprise tingkat tinggi, itu adalah sentuhan pertamanya padaku sejak aku mengenalnya hampir dua tahun lalu! Dan hebatnya, itu dilakukannya atas inisiatifnya sendiri. Ups, aku sudah tak bisa menyembunyikan senyumku lagi. Maaf, aku tertawa seperti orang gila di tengah jalan raya.
Red Apple on Your Cheek - Taken from here. |
Januari 2013 Miladiyah
Dear Diary, detik ini juga, mohon sembunyikan aku. Lenyapkan saja aku dari bumi. Aku bisa gila! Atau jangan-jangan aku sudah gila? Oh Ya Allah, perutku mules, napasku tak beraturan dan jantungku berdebar-debar.
Aku menatap Humaira lekat. Aku mencoba berbicara tetapi kalimatku tercekat di tenggorokan, "Hey, kau. Berhentilah menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada dalam khayalmu. Dan aku juga tidak mau bersusah payah mencari tahu. Aku takut menyadari kalau kau ternyata benar-benar memusatkan perhatian padaku. Entah kenapa aku tidak bisa menerima keadaan bahwa saat ini kedua matamu berbinar untukku."
Aku mencoba menenangkan diri dan mencerna perkataan yang Humaira lontarkan padaku. Aku bersikeras tidak histeris ketika dia mengulangi kalimatnya, "Aku suka. Aku sudah membaca buku Kemilau Cahaya Emas sampai habis. Suka sekali."
Aku berbisik dan kupastikan Humaira tak mendengar apa yang aku katakan, "Hey, kau. Berhentilah menatapku. Aku takut kau jatuh cinta padaku." Tanpa sadar aku berlari menjauhi Humaira. Aku tidak ingin Humaira menyukaiku. Er-rr, oke aku tidak bisa bohong.
Aku ingin Humaira menyukaiku. Lalu apa masalahmu? Aku tidak ingin Humaira menyukai bukuku. Loh bukankah bukumu adalah dirimu? Aku tahu itu, aku hanya tidak bisa menerima kondisi kalau Humaira membaca bukuku. Hey sebenarnya kau menginginkan perhatiannya tidak sih? Aku takut, tahu! Apa yang membuatmu takut? Aku takut Humaira mengikuti fikrah dan akhlakku yang masih jauh dari kata sempurna. Kau mulai aneh. Bukankah jika jatuh cinta, seseorang akan condong kepada yang dicintanya? Pikiranmu terlalu jauh! Ck, diam dan berhentilah berputar-putar dalam otakku! Arghh, aku sudah sinting. Aku bahkan kalah debat dengan pikiranku sendiri.
Aku masuk ke dalam rumah dan menemukan ibunya Humaira duduk bersimpuh usai menunaikan shalat Ashar. Melihat kedatanganku, beliau tersenyum lembut dan memanggilku mendekat. Aku langsung menghambur ke pangkuan beliau. Gejolak rasa dalam dadaku semakin menjadi-jadi. Hampir-hampir aku menangis. Aku tak habis pikir, "Ummi, bagaimana mungkin Humaira membaca buku yang kuberikan pada Ummi?"
Tak kusangka, ibunya Humaira tertawa. Beliau mengelus kepalaku. Ugh, konyolnya aku. Tingkahku kekanakan sekali. "Tante Maya..." Humaira memanggilku dari arah belakang. Saat aku menoleh padanya, jantungku seakan berhenti berdetak. Dengan senyum manis yang membuat pipinya tampak kemerahan, dia memperlihatkan buku Kemilau Cahaya Emas. Aku salah tingkah dan gugup luar biasa. Perlahan Humaira mendekatiku, dia membuka lembar pertama buku Kemilau Cahaya Emas. Di sana tertulis satu kalimat yang digores dengan pensil, "I like it."
Aku berteriak dalam hati. Aku merasa sangat buruk sekarang. Ingin kukatakan pada Humaira, "Hey, kau. Berhentilah menatapku. Aku merasa bersalah padamu." Namun kalimat itu tak jua bisa tersampaikan. Tanpa aba-aba, Humaira bercerita bagaimana dia bisa menemukan buku itu di atas meja kerja ibunya. Bagaimana dia mulai membaca buku itu. Bagaimana dia mulai menyadari bahwa penulis buku itu adalah aku. Dan bagaimana dia mulai menyukai buku itu.
Tiba-tiba gunung es di hatiku mencair. Aku luluh dengan kepolosannya. Aku bertanya, "Humaira kelas berapa sekarang?" Seketika dia terlihat senang sekali, "Tante Maya, mau membuatkan teka-teki ya? Tapi jangan yang susah-susah, aku masih kelas 3 SD." Aku takjub mendengarnya. Setengah hatiku tertawa. Setengah yang lain merajut rasa bersalah bahwa aku sudah meracuni pikiran gadis mungil berusia 8 tahun. Aku bahkan tidak berani melihat wajah ibunya sekarang.
"Tante Maya, Humaira juga mau menjadi seperti Tante Maya." celetuk ibunya Humaira. Aku menengadahkan wajah. Melihat ketulusan di wajah beliau, aku merasa begitu terharu. Humaira melingkarkan lengannya padaku, "Tante Maya, aku mau menjadi seperti Tante Maya. Aku mau menjadi seorang dokter bedah." Aku tersenyum mendengarnya. Ketakutanku jadi sedikit berkurang. Toh Humaira tidak akan menjadi sepertiku. Hey, ayolah! Aku bukan dokter bedah. Hahaha. Aku menatap Humaira sembari tertawa lepas.
Masya Allah, aku banyak mengambil hikmah dari kejadian ini. Aku harus introspeksi diri. Dan lebih penting lagi, aku mulai meningkatkan kewaspadaanku dalam menulis. Karena tak ada yang tahu, siapa gerangan yang akan terinfeksi virus tulisanku. Fiuh, ternyata mempertanggungjawabkan tulisan itu sangat berat. Lalu hikmah berikutnya, tentang pandangan pertama Humaira.
Tahu tidak, Humaira menatapku lekat. Akhirnya tiba juga hari dimana Humaira merasakan apa yang aku rasakan. Dia menunjukkan reaksi atas aksi yang kulakukan. Kali ini aku harus berterima kasih pada Isaac, bahwa hukum Newton-nya berhasil. Walaupun ada masa-masa dimana aku merasa keberadaanku tidak diakui oleh Humaira. Bahkan pandangan pertamaku padanya bukanlah pandangan pertamanya padaku. Sungguh, semua itu tak jadi masalah lagi sekarang. Toh saat ini aku merasakan Humaira memandangku seperti saat aku memandangnya pertama kali. Ya, detik ini adalah pandangan pertama Humaira padaku. Pandangan pertama yang terlambat tiga tahun.
wowo humaira pipi kemerahan..pasti ini anak lucu manis so sweet sekali. jadi mau liat
ReplyDeletepandangan pertamaku padanya bukanlah pandangan pertamanya padaku... asiiik sekali kalimatnya
Humaira umurnya berapa neh?
ReplyDeleteIyah, tap kali aku menulis terselip pikiran dan harapan smeoga apa2 yg aku tulis memberikan efek yg baik bagi sapa sj yg membacanya.
Allhamdulillah kalau akhirnya Humaira dapat merasakannya juga :)
ReplyDeletemau dong mbak liat humaira, lucu deh bayangin wajahnya :D
ReplyDeleteseneng yaa kalo di taksir ama anak kecil may ^^... aku malah kebosenan nuy (sombong dikit boleh ya), soalnya keponakan ku buanyaaakkk... (T.T)...
ReplyDeleteGaya penulisannya baguuusss..
ReplyDeleteTitip salam ya buat Humaira, sang pemujamu, heheee...
ReplyDeleteBaca dari awal aku kira gimana, ternyata tentang si cantik humaira ya :)
ReplyDeleteSuka bahasanya :)
Mba maya ini, selalu bisa menyuguhkan ending yang berbeda dr persepsi awal pembaca.
ReplyDeletelain kali bikin cerita anak-anak buat humaira, Mba :D
Waah.. kelas 3?
ReplyDeletesama dunk kaya adekku, Zaenab..
tapi Zaenab sih bawel.. Humaira ngga ya,kak?
@Dyah Hapsari Fajarinisaya sependapat Mbak.
ReplyDeletepandangan pertama awal aku berjumpa ach ach ach...postingannya mengingatkan aku akan lagu super lawas ini.....
ReplyDeletetante Maya ternyata seorang dokter ya...mungkin suatu saat kita kan berjumpa..entah di hospital atau di klinik mana dan di negara mana...,
but ..,menulari humaira dengan virus kebaikan itu tak apa-apa kok...itu malah dianjurkan...salam
maaf kelupaan...selamat berkontes ria ya...semoga menjadi salah satu pemenangnya :)
ReplyDeleteciye ciyee ciyeeee... yg dpt fans berat nih..
ReplyDelete^_^
semoga aja pandangan pertamanya trs berlanjut deh..
aku udh bs bayangin raut wjh manis Humaira tuh gimana May?
mungkin mengalahkan manisnya gula kali ya...hehe
smoga menang May
Ehm..
ReplyDeleteGaya penulisan diary yang bisa menjadi sumber inspirasi bagiku. mantap kak Maya
Assalamu'alaykum...salam kenal Mbak :)
ReplyDeleteCiyeeeeeee...... :)
ReplyDeleteJatuh cinta pada pandangan prtama nih.
wah... pipiku jd ikut merah... humairo keren, 3 thn euy... smoga mb maya bisa dpt buku itu ya :)
ReplyDeleteKayaknya anaknya cerdas ya si Humaira itu.
ReplyDeleteBtw, Maya di manakah? Kalau masih di Makassar, insya Allah IIDN ada kegiatan Sabtu ini, di kampung buku jln Abdesir, bisa ikutan?
Kita mau bincang2 dengan pak Anwar Jimpe Rahman ttg Kampung Buku (perpustakaan) dan Inninawa (penerbit)
ih jadi iri ma humairah. tanten wulan juga mau dibuatkan cerita ma tante maya.
ReplyDeleteitu yang secara fisik... jauh di dalam (subconscious) itu terjadi lebih intens saling pandang saling selidik saling menilai.. :)
ReplyDeletelama gag berkunjung ke sini.. :)
jangan2 itu humaira ku. hahahaha.... mendadak minta sama Tuhan dijadikan anak umur 3 tahun. halah.
ReplyDelete@ROe SalampessyHumairahnya sudah pindah ke lain hati, jangan berharap kembali ya bang
ReplyDelete@Niken Kusumowardhani nah loh, ini kenapa dek nikken yg balas komentnya yah. hohohoho
ReplyDeleteTante Maya, mau membuatkan teka-teki ya? Tapi jangan yang susah-susah, aku masih kelas 3 SD. Sepertinya suara imutnya juga menjadi pandangan pertama ya, Tante Maya. ;)
ReplyDeleteHumaira pintar, manis dan pastinya sayang sama orang2 sekitar. ;)
Terimakasih sudah ikut meramaikan syukuran di Langkah Catatanku Mba. :)
Salama Senyum. . .^_*