Bismillaahirrahmaanirrahiim
Siapapun kita, pasti punya seseorang yang disukai secara diam-diam. Saat kita memikirkan dia, rasanya seperti... emm... sedikit sesak di dada? Rona malu mengulum senyum di wajah? Atau bahkan otak seketika lumpuh terkena skizofrenia. Apa kau pernah merasakannya?
Bohong, kalau kau tidak pernah merasakannya.
Namun, jika aku yang mengatakan bahwa aku tidak pernah merasakannya, itu bukan suatu kebohongan. Serius. Faktanya lebih mudah mengurusi tesis dan segala tetek bengeknya daripada disuruh menjawab ya atau tidak untuk pertanyaan paling sentimentil sedunia, "Apakah kau sudah siap dibantu untuk memahami hal kecil yang disebut cinta?"
Setengah berlari, aku mencoba mengatur napasku. Peluh mulai mengucur perlahan tanpa permisi. Maklum, sudah tiga kali aku bolak-balik seraya naik turun tangga untuk mencari dosen yang bakal menandatangani revisi terakhir tesisku.
Aku akhirnya memutuskan berhenti berlari dan mulai berjalan asal-asalan. Sedikit sempoyongan. Tiba-tiba suara rendah, berat dan penuh aura kebapakan, menggelitik telingaku, "Maya, kok masih di sini? Kapan berangkat ke Jepang?"
Kaget, aku melihat professor berdiri tepat di hadapanku. Ragaku langsung terjaga seratus persen. Aku sedang berada di depan kantor jurusan pascasarjana teknik elektro dengan beberapa pasang mata yang mengawasi.
Aku merespon pertanyaan tadi hanya dengan menyunggingkan senyum. Tidak ada kata yang mampu terucap. Lidahku benar-benar kelu. Bisa kulihat, kini wajah professor semakin dipenuhi rasa penasaran. Aku pura-pura tidak menyadarinya.
Oke, oke, oke, stop! Tiba-tiba aku merasa dihantui rasa bersalah. Aku pikir aku tidak bisa bergeming saja. Aku tidak tega melukai kebaikan hati professor yang sudah capek-capek menaruh perhatian pada rencana masa depanku. Aku lantas berkata, "Masih dalam proses pengurusan administrasi, prof. Misalnya saya butuh surat rekomendasi. Apa boleh saya memintanya dari professor?"
"Tentu saja boleh. Siapkan saja surat rekomendasi yang dalam bahasa inggris ya." jawab professor cepat dan mantap, tiada keraguan dalam kalimatnya.
Aku mengangguk dan professor pun berlalu dari hadapanku.
Kosong. Ada rasa sesak yang seketika menggaung. Tertanggal 25 juni 2013 lalu, aku sudah diwisuda. Alhamdulillah. Aku sudah mendapatkan tambahan gelar magister teknik di belakang namaku. Dan iya memang, sudah tidak ada hal penting yang perlu kuurus di kampus selain menyelesaikan revisi terakhir tesis.
Jadi wajar saja kalau professor bertanya. Masalahnya ini bukan pertama kalinya aku mendengar pertanyaan serupa terlontar tanpa basa-basi sedikit pun. Oh my god, aku merasa kabar itu terlalu mengudara, seakan penghuni bumi terlalu siap dengan antena penerimanya.
Mirip-mirip prosesi petir. Dimana gosip tentangku bak kilat yang menitipkan cahaya dengan tenang lagi cepat pada bumi. Padahal pergerakanku baru muncul di akhir waktu bak guntur yang menggelegar dengan bunyi keras lagi genting. Huh, miris.
"Tabaarakallahu Ta'ala, wisudanya bisa bersamaan. Kompak. Rencana berikutnya, bagaimana kalau Maya dan Yudi juga nikah kembar?" tanya Mama spontan ketika kami sedang makan malam keluarga.
Uhukk!
Suapan nasi yang masih di kerongkonganku spontan menyembur keluar. Alih-alih menelannya, aku malah sesak napas. Aku tersedak. Cepat-cepat aku mengambil gelas yang berisi air mineral dan meminumnya.
"Ide bagus tuh," jawab Yudi sambil tertawa.
Burrr! Uhukk! Uhukk!
Bagus, aku tersedak dua kali.
"Kak Maya jorok, ih. Stay cool, kenapa?" Rahmat menyindir dari sudut meja sebelah kiri.
Oke, sepertinya hanya aku di sini yang menganggap nikah kembar itu ide yang agak-agak ehem. Ekstrem? Well, calon saja belum ada.
Yang jelas, akhir-akhir ini aura meja makan benar-benar seram. Aku paling nggak bisa kalau ditanya-tanya seputar calon pasangan hidup. Lebih-lebih Bapak yang suka menginvestigasi siapa gerangan cowok yang kusukai diam-diam. Mati, deh.
"Maya..." panggil Mama perlahan. Beliau menatapku tajam, menggigit sanubariku, "Ingat, tidak ada S3 tanpa menikah. Mama tidak akan pernah mengijinkan Maya ke Jepang sebelum Maya menikah. Tidak peduli sekeras apa para professor menyuruh Maya berangkat, Mama pun akan bersikukuh menikahkan Maya terlebih dahulu."
Aku tersenyum. Bisa kubayangkan, beberapa hari ke depan, aku akan mulai diperkenalkan dengan someone, someone dan someone. Fine, bagaimanapun juga, memang sudah tiba masanya. Aku sudah tidak punya alasan untuk tidak mengutamakan persoalan ini. Lagipula titah ratu mana sih yang pernah dilanggar?
Di atas segalanya, aku benar-benar memerlukan suatu petunjuk dalam setiap istikharahku. Beberapa kali aku diperingati akhwat bahwa aku harus memilih bersama Allah. Rumusnya sederhana, Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Dan beberapa kali pula aku harus meyakinkan mereka bahkan diriku sendiri bahwa aku tidak segamang kelihatannya.
Pertanyaannya sekarang, benarkah tidak ada seseorang yang diam-diam kusukai?
Sungguh, aku tidak ingin menyesal. Betapapun akan muncul kegalauan dengan level teratas, aku akan mempersiapkan diri. Toh menurutku, kegalauan dalam memilih pasangan hidup itu adalah hal yang wajar. Oleh sebab pilihan akan menentukan nasib hari depan, tidak akan ada seorang pun di bumi ini yang rela gegabah di dalamnya. Aku pun hanya salah satunya. Apalagi pernikahan bukan hanya persoalan dunia. Sungguh, pernikahan adalah persoalan dunia dan akhirat.
Jadi pertama-tama, hal yang perlu digarisbawahi adalah tidak boleh mengingkari, tidak boleh berbohong dan tidak boleh mencari-cari alasan. Can you get it? Maya, jujurlah pada dirimu sendiri. Lalu temukanlah sendiri pula, sosok yang siap membantumu untuk memahami hal kecil yang disebut cinta.
Makassar, dalam masa-masa pascawisuda magister
29 Juni 2013 Miladiyah / 20 Sya'ban 1434 Hijriyah
Aku mohon diriku, kuatkan dirimu!
Bohong, kalau kau tidak pernah merasakannya.
Namun, jika aku yang mengatakan bahwa aku tidak pernah merasakannya, itu bukan suatu kebohongan. Serius. Faktanya lebih mudah mengurusi tesis dan segala tetek bengeknya daripada disuruh menjawab ya atau tidak untuk pertanyaan paling sentimentil sedunia, "Apakah kau sudah siap dibantu untuk memahami hal kecil yang disebut cinta?"
♥♥♥
Setengah berlari, aku mencoba mengatur napasku. Peluh mulai mengucur perlahan tanpa permisi. Maklum, sudah tiga kali aku bolak-balik seraya naik turun tangga untuk mencari dosen yang bakal menandatangani revisi terakhir tesisku.
Aku akhirnya memutuskan berhenti berlari dan mulai berjalan asal-asalan. Sedikit sempoyongan. Tiba-tiba suara rendah, berat dan penuh aura kebapakan, menggelitik telingaku, "Maya, kok masih di sini? Kapan berangkat ke Jepang?"
Kaget, aku melihat professor berdiri tepat di hadapanku. Ragaku langsung terjaga seratus persen. Aku sedang berada di depan kantor jurusan pascasarjana teknik elektro dengan beberapa pasang mata yang mengawasi.
Aku merespon pertanyaan tadi hanya dengan menyunggingkan senyum. Tidak ada kata yang mampu terucap. Lidahku benar-benar kelu. Bisa kulihat, kini wajah professor semakin dipenuhi rasa penasaran. Aku pura-pura tidak menyadarinya.
Oke, oke, oke, stop! Tiba-tiba aku merasa dihantui rasa bersalah. Aku pikir aku tidak bisa bergeming saja. Aku tidak tega melukai kebaikan hati professor yang sudah capek-capek menaruh perhatian pada rencana masa depanku. Aku lantas berkata, "Masih dalam proses pengurusan administrasi, prof. Misalnya saya butuh surat rekomendasi. Apa boleh saya memintanya dari professor?"
"Tentu saja boleh. Siapkan saja surat rekomendasi yang dalam bahasa inggris ya." jawab professor cepat dan mantap, tiada keraguan dalam kalimatnya.
Aku mengangguk dan professor pun berlalu dari hadapanku.
Kosong. Ada rasa sesak yang seketika menggaung. Tertanggal 25 juni 2013 lalu, aku sudah diwisuda. Alhamdulillah. Aku sudah mendapatkan tambahan gelar magister teknik di belakang namaku. Dan iya memang, sudah tidak ada hal penting yang perlu kuurus di kampus selain menyelesaikan revisi terakhir tesis.
Jadi wajar saja kalau professor bertanya. Masalahnya ini bukan pertama kalinya aku mendengar pertanyaan serupa terlontar tanpa basa-basi sedikit pun. Oh my god, aku merasa kabar itu terlalu mengudara, seakan penghuni bumi terlalu siap dengan antena penerimanya.
Mirip-mirip prosesi petir. Dimana gosip tentangku bak kilat yang menitipkan cahaya dengan tenang lagi cepat pada bumi. Padahal pergerakanku baru muncul di akhir waktu bak guntur yang menggelegar dengan bunyi keras lagi genting. Huh, miris.
♥♥♥
"Tabaarakallahu Ta'ala, wisudanya bisa bersamaan. Kompak. Rencana berikutnya, bagaimana kalau Maya dan Yudi juga nikah kembar?" tanya Mama spontan ketika kami sedang makan malam keluarga.
Uhukk!
Suapan nasi yang masih di kerongkonganku spontan menyembur keluar. Alih-alih menelannya, aku malah sesak napas. Aku tersedak. Cepat-cepat aku mengambil gelas yang berisi air mineral dan meminumnya.
"Ide bagus tuh," jawab Yudi sambil tertawa.
Burrr! Uhukk! Uhukk!
Bagus, aku tersedak dua kali.
"Kak Maya jorok, ih. Stay cool, kenapa?" Rahmat menyindir dari sudut meja sebelah kiri.
Oke, sepertinya hanya aku di sini yang menganggap nikah kembar itu ide yang agak-agak ehem. Ekstrem? Well, calon saja belum ada.
Yang jelas, akhir-akhir ini aura meja makan benar-benar seram. Aku paling nggak bisa kalau ditanya-tanya seputar calon pasangan hidup. Lebih-lebih Bapak yang suka menginvestigasi siapa gerangan cowok yang kusukai diam-diam. Mati, deh.
"Maya..." panggil Mama perlahan. Beliau menatapku tajam, menggigit sanubariku, "Ingat, tidak ada S3 tanpa menikah. Mama tidak akan pernah mengijinkan Maya ke Jepang sebelum Maya menikah. Tidak peduli sekeras apa para professor menyuruh Maya berangkat, Mama pun akan bersikukuh menikahkan Maya terlebih dahulu."
Aku tersenyum. Bisa kubayangkan, beberapa hari ke depan, aku akan mulai diperkenalkan dengan someone, someone dan someone. Fine, bagaimanapun juga, memang sudah tiba masanya. Aku sudah tidak punya alasan untuk tidak mengutamakan persoalan ini. Lagipula titah ratu mana sih yang pernah dilanggar?
♥♥♥
Di atas segalanya, aku benar-benar memerlukan suatu petunjuk dalam setiap istikharahku. Beberapa kali aku diperingati akhwat bahwa aku harus memilih bersama Allah. Rumusnya sederhana, Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Dan beberapa kali pula aku harus meyakinkan mereka bahkan diriku sendiri bahwa aku tidak segamang kelihatannya.
Pertanyaannya sekarang, benarkah tidak ada seseorang yang diam-diam kusukai?
Sungguh, aku tidak ingin menyesal. Betapapun akan muncul kegalauan dengan level teratas, aku akan mempersiapkan diri. Toh menurutku, kegalauan dalam memilih pasangan hidup itu adalah hal yang wajar. Oleh sebab pilihan akan menentukan nasib hari depan, tidak akan ada seorang pun di bumi ini yang rela gegabah di dalamnya. Aku pun hanya salah satunya. Apalagi pernikahan bukan hanya persoalan dunia. Sungguh, pernikahan adalah persoalan dunia dan akhirat.
Jadi pertama-tama, hal yang perlu digarisbawahi adalah tidak boleh mengingkari, tidak boleh berbohong dan tidak boleh mencari-cari alasan. Can you get it? Maya, jujurlah pada dirimu sendiri. Lalu temukanlah sendiri pula, sosok yang siap membantumu untuk memahami hal kecil yang disebut cinta.
Makassar, dalam masa-masa pascawisuda magister
29 Juni 2013 Miladiyah / 20 Sya'ban 1434 Hijriyah
Aku mohon diriku, kuatkan dirimu!