Bismillaahirrahmaanirahiim
Senja yang sepi membersamai kepulanganku dari kampus. Tertatih, aku melangkahkan kaki ke dalam rumah. Yaa Allah, sungguh lelah sangat. Pengurusan seminar hasil penelitian tesis bener-bener bikin rambut tambah rontok. Hiks.
"Maa-yaa~" suara panggilan dari mama terdengar begitu menggelitik.
Cerah. Aku melihat bening yang bersinar di wajah mama. Ada apa ini? Tiba-tiba saja aku merasakan firasat aneh. Burukkah? Ee, tunggu sebentar. Perlahan tapi pasti, aku merasakan perubahan aura yang manis. Emm... rasanya tuh semisal kamu memiliki rahasia dan ingin sekali berbagi tetapi informasi yang kamu beritahukan hanya sedikit. Syalalala, super misterius!
Aku berbalik ke sebelah kiri, di sana tampak kak Hera yang mengangkat alis, gregetan. Di sampingnya, kak Indra terlihat cukup berusaha menahan senyum. Wah, aku benar-benar tampak sebagai satu-satunya makhluk yang berpikir keras di ruangan ini.
"Tadi pagi, Mama melihat Maya di wajah seseorang," tutur mama membuka pembicaraan.
Wh-what?!
Sontak, lidahku kelu. Kaget. Tak sepatah kata pun mampu terucap. Yaa Rabbi, apa mama melihat doppleganger (double walker, germany red) yang ditakhayuli sebagai kembaran diri sendiri di muka bumi?
Ee, loh! Tunggu, kok aku mikirnya kacau begini? Mama kan tadi bilangnya melihat wajahku. Ya, melihat pinang dibelah duaku, bukan melihat bayangan diri. Er-rr, berarti... jangan-jangan maksudnya...?
"Ketika dia tersenyum, subhanallah, miriiip sekali sama Maya. Rasanya tiba-tiba jatuh terpana, bagai mendapati anak kandung yang tidak keluar dari rahim sendiri. Yaa Allah, Mama kepengen segera mempertemukan Maya dengan dia," aku mama tanpa basa-basi.
Hah?!
Tanpa menunggu reaksiku lebih lanjut, mama kembali berujar, "Walau baru pertama kali ketemu, mama langsung tahu. Dia laki-laki sholeh yang baik, akhlaknya pun bagus. Masya Allah, kenapa Maya tidak pernah bilang kalau selama ini dimentori oleh sosok sekeren itu?"
Aku menganga. Terperanjat lebih dalam. Deru napasku mendadak saling berkejaran. Belum lagi, jantungku memompa darah dengan begitu tidak sabar. Astaghfirullaha wa atuubu ilaihi. Nyaliku menciut. Gila, aku seperti narapidana yang tengah divonis hukuman mati!
Kucoba menata sepatah kalimat, "Mama, dia... emm... dia..."
"Dia laki-laki yang santun dan dewasa. Cocok untuk Maya. Di dalam hati kecil, Bapak selalu menerka-nerka, bisa jadi dia memiliki rasa untuk Maya. Wacana ini tak pernah terlontar, hingga pagi tadi mama turut menemani Bapak ke kantornya, dan akhirnya bertemu dengan dia," Bapak tersenyum, turut angkat bicara.
Ugh. Yaa Allah, tolong aku. Sesak. Aku nggak tahu mau ngomong apa!
Mama segera memelukku, lalu berbisik, "Apa Mama boleh mengundangnya ke rumah? Maya harus bertemu dengannya."
Aku balas berbisik, "Aku pernah bertemu dengannya, Ma."
"Benar? Kapan?"
"Iya. Tahun lalu, ketika pertama kali aku dan Bapak mengikuti training cash management perusahaan. Alhamdulillah, aku akhirnya bisa menangani pembukuan online dengan lancar berkat diajari langsung oleh ahlinya, dia."
"Lalu kapan pertemuan kedua akan terjadi?" ungkap mama tak sabaran.
Aku bergeming.
Alih-alih meminta dukungan dari Kak Hera agar posisiku tidak terlalu tertekan, aku malah memilih bungkam. Soalnya kak Hera melempar senyum menggoda, sih. Haduuh, benar-benar menggalaukan. Ups, sampai lupa! Aku kan masih punya kartu as!
"Mama, bolehkah aku menyelesaikan tesis dulu? Insyaa Allah usai sidang tertutup memperoleh gelar magister teknik, aku akan memikirkannya dengan lebih serius."
"Janji?" mama menepuk kepalaku.
Lagi, aku bergeming.
Aku sangat mengerti, beberapa tahun lagi, usiaku sudah mencapai seperempat abad. Aku sangat mengerti, bapak begitu ingin melihatku berbahagia dengan sesegera mungkin menggenapkan separuh dien. Aku sangat mengerti, mama pun tidak akan mengizinkanku kuliah Ph.D kecuali statusku telah berubah dari single menjadi double. Aku sangat mengerti, mama dan bapak bermaksud memberikan kebaikan pernikahan atas diriku.
Aku sangat mengerti. Tapi entah kenapa, dadaku tetap saja merasa sesak. Napasku masih saja tercekat, bak berada di dalam air dan tengah mencoba menggapai-gapai oksigen. Yaa Allah Yaa Rabb, kok aku pengen banget nangis ya? Ah, tidak, tidak.
Aku menguatkan hati, lantas mengangguk, "Janji. Insyaa Allah."
Makassar, dalam balutan-balutan masa depan.
Ya, Aku sangat mengerti. Insyaa Allah. Insyaa Allah.
21 Maret 2013 Miladiyah / 27 Rabiul Akhir 1433 Hijriyah.
"Maa-yaa~" suara panggilan dari mama terdengar begitu menggelitik.
Cerah. Aku melihat bening yang bersinar di wajah mama. Ada apa ini? Tiba-tiba saja aku merasakan firasat aneh. Burukkah? Ee, tunggu sebentar. Perlahan tapi pasti, aku merasakan perubahan aura yang manis. Emm... rasanya tuh semisal kamu memiliki rahasia dan ingin sekali berbagi tetapi informasi yang kamu beritahukan hanya sedikit. Syalalala, super misterius!
Aku berbalik ke sebelah kiri, di sana tampak kak Hera yang mengangkat alis, gregetan. Di sampingnya, kak Indra terlihat cukup berusaha menahan senyum. Wah, aku benar-benar tampak sebagai satu-satunya makhluk yang berpikir keras di ruangan ini.
"Tadi pagi, Mama melihat Maya di wajah seseorang," tutur mama membuka pembicaraan.
Wh-what?!
Sontak, lidahku kelu. Kaget. Tak sepatah kata pun mampu terucap. Yaa Rabbi, apa mama melihat doppleganger (double walker, germany red) yang ditakhayuli sebagai kembaran diri sendiri di muka bumi?
Ee, loh! Tunggu, kok aku mikirnya kacau begini? Mama kan tadi bilangnya melihat wajahku. Ya, melihat pinang dibelah duaku, bukan melihat bayangan diri. Er-rr, berarti... jangan-jangan maksudnya...?
Mama melihat Maya di wajah seseorang - Apple in Love - Original picture was here |
"Ketika dia tersenyum, subhanallah, miriiip sekali sama Maya. Rasanya tiba-tiba jatuh terpana, bagai mendapati anak kandung yang tidak keluar dari rahim sendiri. Yaa Allah, Mama kepengen segera mempertemukan Maya dengan dia," aku mama tanpa basa-basi.
Hah?!
Tanpa menunggu reaksiku lebih lanjut, mama kembali berujar, "Walau baru pertama kali ketemu, mama langsung tahu. Dia laki-laki sholeh yang baik, akhlaknya pun bagus. Masya Allah, kenapa Maya tidak pernah bilang kalau selama ini dimentori oleh sosok sekeren itu?"
Aku menganga. Terperanjat lebih dalam. Deru napasku mendadak saling berkejaran. Belum lagi, jantungku memompa darah dengan begitu tidak sabar. Astaghfirullaha wa atuubu ilaihi. Nyaliku menciut. Gila, aku seperti narapidana yang tengah divonis hukuman mati!
Kucoba menata sepatah kalimat, "Mama, dia... emm... dia..."
"Dia laki-laki yang santun dan dewasa. Cocok untuk Maya. Di dalam hati kecil, Bapak selalu menerka-nerka, bisa jadi dia memiliki rasa untuk Maya. Wacana ini tak pernah terlontar, hingga pagi tadi mama turut menemani Bapak ke kantornya, dan akhirnya bertemu dengan dia," Bapak tersenyum, turut angkat bicara.
Ugh. Yaa Allah, tolong aku. Sesak. Aku nggak tahu mau ngomong apa!
Mama segera memelukku, lalu berbisik, "Apa Mama boleh mengundangnya ke rumah? Maya harus bertemu dengannya."
Aku balas berbisik, "Aku pernah bertemu dengannya, Ma."
"Benar? Kapan?"
"Iya. Tahun lalu, ketika pertama kali aku dan Bapak mengikuti training cash management perusahaan. Alhamdulillah, aku akhirnya bisa menangani pembukuan online dengan lancar berkat diajari langsung oleh ahlinya, dia."
"Lalu kapan pertemuan kedua akan terjadi?" ungkap mama tak sabaran.
Aku bergeming.
Alih-alih meminta dukungan dari Kak Hera agar posisiku tidak terlalu tertekan, aku malah memilih bungkam. Soalnya kak Hera melempar senyum menggoda, sih. Haduuh, benar-benar menggalaukan. Ups, sampai lupa! Aku kan masih punya kartu as!
"Mama, bolehkah aku menyelesaikan tesis dulu? Insyaa Allah usai sidang tertutup memperoleh gelar magister teknik, aku akan memikirkannya dengan lebih serius."
"Janji?" mama menepuk kepalaku.
Lagi, aku bergeming.
Aku sangat mengerti, beberapa tahun lagi, usiaku sudah mencapai seperempat abad. Aku sangat mengerti, bapak begitu ingin melihatku berbahagia dengan sesegera mungkin menggenapkan separuh dien. Aku sangat mengerti, mama pun tidak akan mengizinkanku kuliah Ph.D kecuali statusku telah berubah dari single menjadi double. Aku sangat mengerti, mama dan bapak bermaksud memberikan kebaikan pernikahan atas diriku.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Jika ada orang yang kalian ridhoi agama dan akhlaknya meminang putri kalian, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu). Jika kalian tidak melakukannya, maka fitnah di bumi dan kerusakan yang besar akan terjadi."
Aku sangat mengerti. Tapi entah kenapa, dadaku tetap saja merasa sesak. Napasku masih saja tercekat, bak berada di dalam air dan tengah mencoba menggapai-gapai oksigen. Yaa Allah Yaa Rabb, kok aku pengen banget nangis ya? Ah, tidak, tidak.
Aku menguatkan hati, lantas mengangguk, "Janji. Insyaa Allah."
Makassar, dalam balutan-balutan masa depan.
Ya, Aku sangat mengerti. Insyaa Allah. Insyaa Allah.
21 Maret 2013 Miladiyah / 27 Rabiul Akhir 1433 Hijriyah.