Bismillaahirrahmaanirrahiim
Undangan Siang - Maya & Helmi |
"Hey, apa ini berarti aku akan kehilanganmu sebagai putri cahaya?" tanyamu suatu hari.
Aku tersenyum. Kau tampak begitu kacau. Aku nyaris tak percaya akan mendapatkan tanya itu sebagai reaksi pertamamu. Bohong, sebenarnya aku tahu kegalauanmu. Ya, aku tahu walau jelas-jelas kau berusaha keras untuk menyembunyikannya.
"Datang ya!" jawabku riang.
Kau meringis, "Apa aku tidak akan mendapatkan jawaban dari pertanyaanku?"
Aku menarik napas, "Ugh... Asal kau tahu, aku jauh lebih kacau darimu. Tadinya aku bersikeras tidak mau mengakuinya, tapi entah sejak kapan dia jadi sangat istimewa bagiku. Dia... berhasil meruntuhkan pertahananku. Dan pada akhirnya, aku harus jujur menghadapi perasaanku sendiri. Dia... aku..."
Bukk!!
Aww, bagaimana mungkin, kau menghujamkan tinju padaku?!
Aku menatapmu tajam. Wajahmu memancarkan rona kesal. Aku semakin kebingungan. Lalu tiba-tiba suaramu naik setengah oktaf, "Apa kau tidak sadar, wajahmu memerah! Argh, sungguh bikin frustasi. Ternyata mengakui kalau putri cahaya telah jatuh cinta itu jauh lebih berat dari yang kuduga."
"Aa-a...!" suaraku tercekat di tenggorokan.
"Aku seperti diingatkan, kalau waktuku bersamamu sudah menipis," lirihmu.
Spontan, aku menggenggam tanganmu. Aku berkata lembut, "Untuk awalnya, aku butuh adaptasi. Namun, aku tidak akan hilang. Sebaliknya, aku akan menjadikannya pangeran cahaya, sehingga aku dan dia bisa menyatu dalam cita dan cinta, Insyaa Allah. Ini janjiku."
Kau tersenyum lalu serta merta memelukku erat.
"Jadi, kau datang kan?" tanyaku.
"Uhm... mungkin tidak."
Aku menautkan alis. Seketika bahuku rontok dan rasa-rasanya tanah yang kupijak runtuh. Ck, kumohon hati, jangan menangis. Semua terjadi untuk yang terbaik, ingat? Aku berseru, "Kalau begitu, aku mau hadiah pernikahan!"
"Haha boleh! Katakan saja, apa maumu? Tapi ... dibandingkan hadiah pernikahan, aku lebih mau kau melibatkanku dalam persiapan hari besarmu. Aku tidak akan seenaknya berjanji, tapi sungguh, mungkin saja aku bisa berguna untukmu. Apa kau tidak tahu, rasanya begitu menyakitkan ketika kau mengasingkanku."
Tak terasa, bulir-bulir bening memupuk di mataku. Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan haru yang membiru. Selama ini aku terlalu kaku. Melihatmu yang berkaca-kaca, membuatku tersadar. Aku sudah terlampau membuatmu cemas. Maaf ya. Maaf sudah bertindak pendek. Aku tidak tahan lagi, tangisku pun pecah.
"Bolehkah aku menyusahkanmu?"
Kau mengangguk, "Bukankah itu gunanya seorang saudari?"
"Datang ya!" jawabku riang.
Kau meringis, "Apa aku tidak akan mendapatkan jawaban dari pertanyaanku?"
Aku menarik napas, "Ugh... Asal kau tahu, aku jauh lebih kacau darimu. Tadinya aku bersikeras tidak mau mengakuinya, tapi entah sejak kapan dia jadi sangat istimewa bagiku. Dia... berhasil meruntuhkan pertahananku. Dan pada akhirnya, aku harus jujur menghadapi perasaanku sendiri. Dia... aku..."
Bukk!!
Aww, bagaimana mungkin, kau menghujamkan tinju padaku?!
Aku menatapmu tajam. Wajahmu memancarkan rona kesal. Aku semakin kebingungan. Lalu tiba-tiba suaramu naik setengah oktaf, "Apa kau tidak sadar, wajahmu memerah! Argh, sungguh bikin frustasi. Ternyata mengakui kalau putri cahaya telah jatuh cinta itu jauh lebih berat dari yang kuduga."
"Aa-a...!" suaraku tercekat di tenggorokan.
"Aku seperti diingatkan, kalau waktuku bersamamu sudah menipis," lirihmu.
Spontan, aku menggenggam tanganmu. Aku berkata lembut, "Untuk awalnya, aku butuh adaptasi. Namun, aku tidak akan hilang. Sebaliknya, aku akan menjadikannya pangeran cahaya, sehingga aku dan dia bisa menyatu dalam cita dan cinta, Insyaa Allah. Ini janjiku."
Kau tersenyum lalu serta merta memelukku erat.
"Jadi, kau datang kan?" tanyaku.
"Uhm... mungkin tidak."
Aku menautkan alis. Seketika bahuku rontok dan rasa-rasanya tanah yang kupijak runtuh. Ck, kumohon hati, jangan menangis. Semua terjadi untuk yang terbaik, ingat? Aku berseru, "Kalau begitu, aku mau hadiah pernikahan!"
"Haha boleh! Katakan saja, apa maumu? Tapi ... dibandingkan hadiah pernikahan, aku lebih mau kau melibatkanku dalam persiapan hari besarmu. Aku tidak akan seenaknya berjanji, tapi sungguh, mungkin saja aku bisa berguna untukmu. Apa kau tidak tahu, rasanya begitu menyakitkan ketika kau mengasingkanku."
Tak terasa, bulir-bulir bening memupuk di mataku. Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan haru yang membiru. Selama ini aku terlalu kaku. Melihatmu yang berkaca-kaca, membuatku tersadar. Aku sudah terlampau membuatmu cemas. Maaf ya. Maaf sudah bertindak pendek. Aku tidak tahan lagi, tangisku pun pecah.
"Bolehkah aku menyusahkanmu?"
Kau mengangguk, "Bukankah itu gunanya seorang saudari?"
----------------------------------------------------------
Makassar, 23 Oktober 2013 Miladiyah / 18 Dzulhijjah 1434 Hijriyah
Untuk kamu, siapapun kamu, kamu yang membaca undangan ini, datang ya!
Aku meminta maaf untuk segala khilaf dan dosa yang pernah kulakukan padamu.
Mohon panjatkan doa tulus untukku ya, semoga Allah memberikan berkah padaku,
mencurahkan keberkahan atas pernikahanku dan semoga Allah
menyatukanku dengannya dalam kebaikan.
Insyaa Allah. Aamiin.