Bismillaahirrahmaanirrahiim
Ada banyak hal yang rasanya tidak pas diceritakan bila si penulis tidak pernah merasakannya sendiri. Jatuh cinta misalnya, pengobatan penyakit, keahlian profesi, dan seabrek kisah kehidupan lainnya. Menurutku, bakal ada rasa yang menjanggal bila tulisannya tidak datang dari hati dan pengalaman. Nah makanya, mumpung masih hangat, kali ini aku akan berbagi kisah fenomal diriku yang kini telah menjadi seorang mama. Alhamdulillah. Yes this is it, kisah kelahiran putra pertamaku, Muhammad Almahdi Helmi. Panggilannya, Mahdi.
Sabtu, 06 September 2014
Waktu Subuh Pukul 04:30 WITA
Sebuah sentakan membangunkanku.
Aku merasakan sensasi nyeri yang berbeda di daerah perut bawahku. Sakit.
Apa aku akan melahirkan hari ini? Aku menghela napas, mungkin tidak. Pikiran 'hari H telah tiba' itu sudah menghantuiku sejak 2 pekan lalu. Maklumlah sindrom pengen cepat lahiran gitu loh. Sayangnya, di tiap harinya hanya kontraksi palsu yang selalu kudapati. Hari ini, usia kandunganku masuk 39 pekan.
Seusai shalat subuh, aku mencoba rebahan. Rileks. Namun rasa nyerinya tidak kunjung hilang. Aku mulai berpikir mungkin ini kontraksi melahirkan. Rasa nyeri pada perut bawah yang tembus sampai tulang ekor. Kram dan kejang. Apalagi terasa interval sakitnya begitu teratur. Aku merasakan nyeri tiap beberapa menit sekali. Sesuai artikel medis, ciri-ciri ini bisa masuk kategori kontraksi akan melahirkan. Huffft... tapi tentu saja, aku masih tenang, tidak mau besar kepala dulu. Masalahnya aku belum mendapati ciri klinis lainnya, such as bercak kecoklatan, lendir darah, pecah ketuban, etc. Haduh, kok aku sedikit takut ya?
Kupegang tangan kekasih hatiku, "Papa, kalau hari ini Mahdi lahir, gimana?"
"Ya, nggak apa-apa dong sayang." ucapnya spontan.
Aku tersenyum, tidak kutemukan rasa panik di nada suaranya. Mungkin karena pertanyaanku tadi sudah terdengar hampir puluhan kali dalam dua pekan ini. Dan mental menyambut hari H sudah kami persiapkan dengan matang, Insyaa Allah.
Waktu Fajar Pukul 07:00 WITA
Ketika lendir berdarah itu muncul.
Aku merasakan dahsyatnya perih yang menjalar ke paha ketika lendir itu keluar dari jalan lahir. Memastikannya, aku sengaja mengambil dan melihatnya di bawah sinar lampu kamar mandi. Benar, ini lendir bening yang bercampur dengan darah segar. Tanda klinis utama bahwa jalan lahir mulai mempersiapkan pembukaan.
Kalap, aku berteriak dari dalam kamar mandi, "Papaaa, sudah keluar lendir darah."
Drap! Drap! Drap!
Aku bisa mendengar langkah kaki papa yang mendatangiku dengan tergesa, sedikit kaget. Papa melihatku lalu mengangguk, "Sakitnya gimana? Sudah sakit sekali?"
Aku menggeleng.
Jauh-jauh hari, kami sudah mendiskusikan bagaimana-bagaimananya kami akan menghadapi persalinan. Ini penting loh. Birth plan, istilahnya. Jadi tidak akan ada yang kagok atau blank karenanya. Dan salah satu rencananya, kami tidak akan ke rumah sakit sampai rasa sakitnya cetar membahana badai atau terjadi kondisi ketuban pecah dini.
Aku membatin, sakitnya masih cetek, masih bisa ditahan. Jadi papa meminta izin keluar sebentar, membeli snack, minuman isotonik dan kebutuhan lainnya.
Lambat laun, kontraksinya semakin kuat, dan aku semakin kepayahan untuk bergerak. Apa mau dikata, ketika kontraksinya datang, tubuh bagian bawahku kram dan bergetar hebat. Aku meringis, hampir-hampir menangis. Aku langsung wara-wiri menghubungi kak Hera, kakak pertamaku, yang tiga bulan lalu melahirkan putri pertamanya, Nasya.
Waktu Dhuha Pukul 10:00 WITA
Pembukaan 3 cm longgar, menuju 4 cm.
Aku menatap wajah kak Hera yang memendar cemas. Kakakku yang berprofesi sebagai dokter umum itu mewanti-wanti agar kami segera ke rumah sakit. Pasalnya, waktu kak Hera melakukan pemeriksaan dalam, jalan lahirku sudah melunak lagi tipis. Kak Hera memperkirakan sudah terjadi bukaan 3 longgar. Katanya, pembukaan berikutnya tidak akan berlangsung lama.
Ya Allah, this is the day...(?)
Blank, masih tidak yakin. Kepalaku mendadak berkunang. Padahal hari-hari lalu, penuh gaya mempersiapkan hari persalinan, tapi ternyata pas hari H, cukup kagok juga ya? Hiks, mau bagaimana lagi. Pikiranku abnormal, hanya rasa sakit yang tersisa. Subhanallah, sakitnya undefined. Beneran, nggak bisa didefinisikan dengan kata-kata. Bahkan ketika kontraksi itu datang, aku menjadi orang yang paling nggak mau diganggu sedunia. Inilah momen fantastis itu, detik-detik menjelang melahirkan. You don't say!
Papa yang sudah balik, Kak Hera dan mbak Ita, asisten rumah tangga, mulai mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke rumah sakit. Uhum, benar, kami tidak didampingi oleh orang tua. Qaddarullah wa maasya fa'ala, Mahdi memilih hari yang tidak berpenghuni. Maksudnya, hari ini mama sedang di Jakarta, bapak di Samarinda, dan mama mertua di Timampu, Luwu Timur. Kosong. Kami benar-benar berproses tanpa orang dewasa.
Kemudian aku diminta melakukan tugas kecil yang tiba-tiba terasa besar untuk kueksekusi. Aku harus mandi plus keramas di sela-sela kontraksi. Sebegitu sulitkah? Sulit, tahu. But okay, aku pasti bisa. Selain menyegarkan, katanya bisa mempercepat bukaan. Dan ya, it works! Usai mandi, kontraksinya semakin ugh! kagak nahan pokoke. Rasanya udah nggak bisa melakukan apapun lagi. Sampai-sampai kostum ke rumah sakit langsung bermodal piyama berkancing depan dipadu jilbab panjang berlengan dan bawahan sarung. Biar nggak ribet. Lagian siapa sih yang bisa sibuk dandan menjelang persalinan?
Waktu Dhuhur pukul 14:00 WITA
Tiba di rumah bersalin kartini medical centre.
Astaghfirullah sakitnya sampai ke ubun-ubun. Aku langsung ditempatkan di kamar bersalin, ditemani papa dan kak Hera. Bidan yang berjaga lalu memeriksa dalam dan mengatakan jalan lahirku sudah terbuka 7 cm longgar. Katanya kontraksinya bagus, tidak lama lagi akan melahirkan Insyaa Allah.
For your information, di kamar bersalin ini hanya ada aku yang akan melahirkan. Karenanya, suasana RS cukup lengang dan adem. Aku memilih tempat ini karena selain rumah bersalinnya khusus perempuan, pelayanan tenaga medisnya selalu santun. Jadi nggak ada ya adegan dimarah-marahi. Eh, ada ding! Kak Hera dan papa yang spontan menasihatiku kalau tiba-tiba aku melakukan hal-hal bodoh.
Di tengah kontraksi, aku diminta makan telur ayam kampung yang dicampur madu. Huekk! Bukannya aku menolak, tapi tiba-tiba saja rasanya pengen muntah. Gomen ne, aku tidak bisa mempertahankannya di perutku. Rasanya enek dan very berry uncomfortable. Tapi tapi tapi bagaimanapun harus dipaksakan masuk perut. Jadi sedari tadi papa tetap memintaku minum untuk rehidrasi, dan kak Hera pun tidak bosan menyendokkan madu plus sari kurma padaku.
Tiba-tiba aku merasa ingin buang air besar yang begiituuu besaaar. Mengejan. Ekspresi mukaku langsung kaku dan memerah. Kak Hera langsung memarahiku karena mengejan sebelum waktunya. Ya Allah, rasanya nggak masuk akal. Proses mengejan itu bukan aku yang mau, itu alamiah dari dalam. Serius deh, bukan aku yang sengaja mau mengejan. Jadinya aku harus menahan diri ketika dorongan mengejan itu datang. Kalau nggak gitu, kepala bayi bisa lonjong dan parahnya jalan lahir bisa bengkak, otomatis nggak bakal bisa lahiran normal. So, keep on fighting till the end!
Hoaamm... Zzz-zz... hiruk-pikuk di sekitarku mulai terdengar bagaikan sayup-sayup. Rasa kantuk yang begitu hebat mendadak timbul di tengah-tengah nyeri kontraksi. Hei! Kak Hera menepuk bahuku untuk segera membangunkanku. Aku tertidur! Ya Allah, kok bisa ya? Tapi beneran deh, aku merasa bakal nyaman banget kalau saat ini bisa tidur. Peace!
Huwaah!
Glek, aku keceplosan teriak. Ya Allah, mau bagaimana lagi, sakit banget sensasinya. Papa mendekatkan wajahnya untuk menenangkanku, dan ketika kontraksi itu datang, serta-merta aku yang tadinya mengelus rambutnya malah beralih menjambaknya. Oops! Refleks kak Hera bilang kalau ditarik nanti rambut papanya Mahdi bisa botak. Waduh, aku langsung minta maaf bersalah. Eh papa malah senyam-senyum, aku balas tersenyum padanya. Papa pun memberikan tangannya untuk diremas sebagai ganti rambutnya. Subhanallah, rasanya menentramkan bak terkena efek anastesi.
Waktu Ashar, 17:00 WITA
Ya pembukaan 10, ayo mengejan!
Ketika bu dokter datang, bidan jaga memberitahu kalau pembukaanku sudah lengkap namun air ketubanku belum pecah. Waw, apa aku akan melahirkan mahdi dalam keadaan terbungkus ketuban? Ehm, pengennya sih lahiran sealamiah mungkin, tapi apa daya, Bu dokter mecahin ketubannya pakai pisau bedah, syuurr. Bersamaan dengan itu, aku segera diposisikan untuk mengejan. Dan ketika kontraksi datang, ayo mengejan!
"Ayo ibu tegakkan punggungnya, tangan memeluk paha, pandangan ke bawah." seru Bu dokter. Bidan jaga pun membantuku memposisikan diri.
Ay yay yay ya, siap! Mulai!
Aku begitu bersemangat mengejan. Suaraku mengeram, mukaku memerah, urat-uratku membuncah. Pikiranku hanya satu, "Wahai anakku sayang, yuk keluar!"
Tiba-tiba kak hera memegang lenganku, "Salah May...! Mengejan lewat perut, bukan leher! Tidak pakai suara, ok?" tegurnya manis.
What...?! Jadi bukan asal mengejan ya? Hahaha, payah payah. Mengejan pertamaku gatot. Ya Allah, iya, gagal total.
Dua-tiga kali, gagal juga. Aku mulai frustasi. Bu dokter mengatakan sakit kontraksinya tidak full jadi aku tidak bisa mengejan dengan baik. Masya Allah ternyata rasa sakit ketika melahirkan itu penting-penting-penting pake banget! Jadi terpaksa deh, aku diberi cairan infus berisi obat penguat kontraksi. Imbasnya, rasa sakitnya kini seperti mencekik perut, adaw!
Ayo nak, kita berjuang bersama. Bismillah.
"Mama sayang, semangat! Tuh rambutnya Mahdi sudah keliatan!" seru papaku antusias.
Then here he is...! World, please meet Muhammad Almahdi Helmi. Pemuda cerdas pengikut Muhammad yang diberi petunjuk oleh Allah Ta'ala. Anak pertama kami. Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin. Mahdi, bayi laki-laki sehat yang lahir dengan berat 3,2 kg dan panjang 50 cm.
Nak, hari ini, Sabtu / 06 September 2014, pukul 17:30 WITA, adalah awal hidupmu. Insyaa Allah mama dan papa akan berusaha menjadi orang tua yang amanah. Semoga Allah selalu meridhoimu, nak. Doa kami, semoga catatan amalmu seindah namamu, ya nak.
Sekali lagi, Alhamdulillah, aku benar-benar bersyukur. Walau cukup wara-wiri nggak jelas, proses lahiran Mahdi tergolong sukses, bukankah begitu? Subhanallah ada papa tercinta, suami siaga setiap saat, yang tak kenal lelah merawatku. Dan kak Hera, kakakku tersayang, yang setia mendampingi dan menasihatiku. Well, Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
Makassar, 06 Januari 2015 Miladiyah / 15 Rabi'ul Awwal 1436 Hijriyah
Baby Mahdi sudah 4 bulan sekarang (-^o^-)/ Alhamdulillah yei!