duh, aku gugup sekali. Pasalnya ini hari pertamaku di sekolah ini. Perlahan aku membuka pintu kelas di hadapanku. Whoaa! Ada apa dengan kelas ini? Beberapa anak berkejar-kejaran, yang lain saling melempar bundelan kertas seenak perutnya, di sudut kelas ada yang main perang-perangan dengan mengandalkan sapu ijuk sebagai senjata, dan yang lebih parah lagi ada yang melompat-lompat di bangku, dikiranya mungkin itu trampolin.
“Diiaaammmm!!”
Loh, itu kan suaraku. Kenapa aku berteriak? Ugh… Bodohnya aku. Semua mata memandangiku. Lari! Cepatlah! Perintah itu beredar di otakku tapi rasa syok terlampau menggerogotiku. Seorang anak laki-laki—berambut landak—berjalan ke arahku. Dia menunjukku dan mengangkat satu alisnya, “Siapa kau?”
“Faya si anak baru, kan?” Seorang anak perempuan hitam manis mengajakku duduk di bangku terdekat. Oh, dari mana dia tahu namaku?
“Aku Fitri, ketua kelas IX B. Aku sudah diberitahu tentangmu oleh bu Ruby. Kita berteman ya?” Aku menyambut uluran tangannya dengan hangat. Ternyata jadi anak baru tidak terlalu buruk juga. Refleks, aku tertawa kecil. Anak laki-laki itu mencibir, “Menertawakan kebodohanmu?”
“Apa?!” Aku menunduk dan memperhatikannya. Padahal lebih pendek dariku tapi bicaranya sok jago banget. Mana semua anak laki-laki berdiri di belakangnya lagi. Masa dia yang jadi bosnya?
Bukk!! Awh, perutku terhantam meja. Anak laki-laki sok bossy itu menendangnya dengan telak. Dasar berandalan! Aku mendorong keras meja itu, berusaha untuk berdiri. Sayangnya itu jebakan. Saat aku berdiri, dia mengambil tasku lalu mengopernya ke anak lain. Aku ingin meraihnya tapi tak bisa. Aku terjepit. Bos kecil itu menahan meja sampai wajahnya memerah. Aku meledak! Aku bersikeras menciptakan sedikit ruang antara aku dan meja itu. Yak! Berhasil!
Secepat kilat, kakiku melompat ke bangku lalu menginjak atas meja. Si kecil itu segera mengambil alih tasku kemudian berlari menjauh. Serta merta aku mengerjarnya ke luar kelas, “Hey, kembalikan tasku!”
Wekk! Dia menjulurkan lidahnya, mengejekku. Dengan cepat dia berbalik tapi kemudian terpelanting ke belakang. Lho? Seorang anak laki-laki bertubuh atletis menabraknya lalu memungut tasku, “Ini milikmu, kan? Ngomong-ngomong aku baru pertama kali melihatmu di sini. Anak baru?” Aku tersenyum.
Tiba-tiba Fitri datang bersama seorang guru muda cantik, ibu Ruby. “Sebenarnya apa yang terjadi di sini?”
©©©
“Jadi, kau bisa menyerahkan bundel klipingnya besok? Err, A-ya…?!” Aku tersentak kaget. Kupandangi Satria yang kini mengerutkan dahinya. Dia yang dijuluki ksatria es lantaran ke-cool-annya itu memperbaiki letak kacamatanya, “Tak bisa dipercaya, kau melamun!” Aku menggigit bibir bawahku dan menampakkan wajah menyesal. Satria spontan memalingkan wajah, “Kalau besok tugasmu tidak beres, kau akan mendapat tugas tambahan”. Apa? Aku melongo.
Fitri memegang lembut bahuku, “Tenang saja. Aku akan membantumu”. Aku mengirimkan sinyal terima kasih kepada Fitri dengan mengerlingkan mataku. Tiba-tiba tangan Ferdi—laki-laki nge-bossy itu—memegang bahuku yang satu lagi, “Mau apa kau, hah?”
“Aku juga akan membantumu”, Ferdi mengangguk sok meyakinkan. Kenapa tingkahnya mendadak jadi mengerikan begitu? Biasanya dia kan sangat brutal. Tiara, yang duduk di samping Ferdi, bergumam, “Sepertinya kita perlu break dulu. Mempekerjakan otak selama 3 jam nonstop bukan ide yang baik, loh”.
“Gimana kalau turun ke lapangan? Main kasti bukan ide yang buruk kan?” Detik berikutnya—sebelum yang lain menjawab—aku sengaja sudah berlari ke lapangan. Aku tidak ingin Satria menyadari kalau satu-satunya alasan aku tidak mendengarkannya adalah karena aku sibuk memperhatikan sahabatnya, Aldi.
Oh, tiba-tiba anak laki-laki dan perempuan membagi diri. Itu berarti kita akan main antargender. Saat melempar koin, yang maju adalah Aldi—sosok bak pahlawan bagiku karena menghentikan tingkah Ferdi cs dan mengembalikan tasku di hari pertama sekolah—dan Tiara, sobat terbaik yang juga selalu membantu menyelesaikan tugas hukumanku. Eh? Belum tahu apa hukumanku?
Semua anak yang membuat keributan—di hari pertamaku sekolah—dihukum menyapu selama satu bulan, hanya aku dan Ferdi yang tidak. Ibu Ruby malah menggabungkan kami dengan tim kebersihan sekolah yang tugasnya berlarut-larut. Hiks! Hari-hariku diisi dengan piket kelas, membuat mading sehat, merawat tanaman, dan sekarang membuat kliping kerusakan lingkungan.
Ternyata yang duluan memukul adalah anak laki-laki, Ferdi. Aku bersiaga di bagian depan lapangan. Sebelum memukul, aku melihat Ferdi menyeringai. Ng, aku merasakan firasat buruk. Dukk! Benar saja, bola melambung tepat ke mukaku. Rasanya hidungku mau patah. Ferdi yang tertawa terbahak-bahak sudah berada di base satu. Argh! Tunggu pembalasanku!
Pemukul selanjutnya Satria. Dia itu ketua kebersihan sekolah yang kelewat tegas. Untungnya ada Fitri—sekretaris tim—yang selalu membela kecerobohanku. Konon, mereka itu pasangan kompak yang melebihi ketua-sekretaris. Namun, kupikir itu hanya cerita lama karena Fitri tak mengatakan apa pun padaku. Whoa, bola itu melambung jauh. Kini Satria berada di base satu dan Ferdi di base dua.
Giliran Aldi datang. Deg! Jantungku berdebar. Bolanya melambung tinggi dan dengan sigap Tiara menangkapnya lalu bukk! bola itu tepat mengenai betis Ferdi yang mencoba berlari ke base tiga. Dia terjerembab ke tanah. Kini aku yang tertawa terbahak-bahak. Tak kurasakan lagi Fitri yang menarik lengan kananku dan Tiara di lengan kiri untuk membawaku berlari ke base awal.
Pemukul pertama kami adalah Fitri. Bola melambung indah dan dirinya lolos ke base satu. Bagus! Rupanya dewi fortuna berada di pihak kami. Bola tak pernah menyentuh tangan mereka hingga aku, sang pemukul terakhir, sedang beraksi. Wah, ini kemenangan mutlak. Eh, mungkin tidak.
Pats! Aldi menangkap bolaku. Senangnya. Eh, bukan, ini gawat! Dengan cepat, teamwork Satria-Aldi membalikkan keadaan.
Kami berpencar. Untung bukan Ferdi yang akan melempari kami bola melainkan Aldi. Eh, tapi dia terlihat sangat grogi—lemparan bolanya kacau. Tiara adalah orang pertama yang lolos dari incarannya. Lalu dia pun mengarahkan bola pada yang lain tapi meleset. Sayangnya itu tidak membuatku senang, soalnya aku dicueki dan diincar paling akhir. Akhirnya kami mendapatkan satu poin tetapi aku malah minta pergantian pemain.
Aku menyusuri taman sekolah. Kegalauan merasuk dengan cepat di dadaku. Mungkin kabar yang mengatakan bahwa Aldi menyimpan nama teman masa kecilnya, Tiara, di lubuk hatinya itu benar. Aku terpukul sekali.
Tiba-tiba Tiara datang, “Faya, coba dengar. Anak laki-laki membantai kita 3-1 setelah menghabisi Aldi. Kasihan dia, sepertinya dia jadi bodoh karena seseorang.” Jangan bercanda, seseorang itu ya kamu, Tiara. “Oia, ada yang ingin kupastikan. Siapa orang yang kau sukai?” Aku terhenyak tak menyangka dia melontarkan pertanyaan selangsung itu. Glek!
“Aldi.”
Huahh! Apa yang telah kuucapkan? Lagi-lagi bibirku bergerak sendiri. Jika ada lubang di bawahku sekarang, rasanya aku ingin masuk saja daripada harus mendengar tanggapan dari Tiara. Eh? Dia malah tertawa kecil.
“Aku suka Satria”. Apa? Bukannya yang melelehkan hati Tiara itu Aldi...?
“Aldi itu tak berarti apa pun bagiku. Lagian aku adalah sang putri yang akan mencairkan hati ksatria es itu!” Mulutku menganga, tak percaya.
“Ih, kau gak pernah dengar teori Strawberry On the Shortcake ya? Itu loh, teori tentang stroberi alias makanan yang paling enak apakah dimakan duluan atau disisakan paling akhir. Kalau si Aldi, dia memakan kuenya dulu baru stroberinya. Aku tahu itu karena aku sudah berteman lama dengannya. Dia menyisakanmu paling akhir di permainan tadi kan? Jadi, kamu adalah stroberi baginya!”
Aku terperangah, Tiara tahu bagaimana cara menghilangkan kecemasanku. Eh, tunggu dulu. Menurut teori, bukannya kalau disisakan paling akhir akan ada kemungkinan stroberinya direbut sama orang lain?
©©©
Pagi itu, aku terlalu cepat datang ke sekolah. Mau bagaimana lagi? Hatiku lega menyadari aku masih punya harapan menempati ruang di hati Aldi. Jadinya, tak bisa tidur deh. Aduh, kepalaku jadi terasa sedikit pusing.
“Kau baik-baik saja?” Aku tak percaya, itu kan suaranya Aldi. Aku menengok dan menemukan Aldi berbalut baju kaos putih basah dengan cucuran keringat di wajah dan tubuhnya. Sungguh, bila aku bisa melihat Aldi yang seperti ini, tidak tidur seratus kali pun aku mau. Perlahan, aku mengangguk.
“Sepertinya tidak begitu. Kemarikan tasmu, biar aku yang bawa” sebelum aku sempat bereaksi, Aldi mengambil tas dari tanganku lalu berakting seolah-olah tas itu sangat berat. Serta merta kami berdua tertawa.
“Kau tadi habis melakukan apa?” Aku bertanya pada Aldi yang berjalan di depanku. Dia menoleh, “Tadi aku membantu Satria menata ulang pot-pot bunga. Huh, kupikir itu pekerjaan mudah, ternyata cukup makan tenaga juga”.
Saat itu, rasanya waktu berjalan luar biasa cepat. Kami berdua telah sampai di kelas. Aku mengucapkan terima kasih pada Aldi ketika dia memberikan tasku kembali. Tiba-tiba Satria datang lalu melemparkan minuman kaleng yang ditangkap dengan sigap oleh Aldi, “Trim’s atas bantuanmu”. Aldi tersenyum seraya mengangkat jempolnya.
Satria melirikku dan berkata, “Bagaimana tugasmu?” Ah, aku lupa. Dia pasti akan marah besar. Aku menautkan kedua alis dan menggeleng pelan. Satria pun menautkan kedua alisnya lalu cepat-cepat tersenyum, “Kalau kau kesulitan, jangan sungkan meminta bantuanku”. Aku tersenyum mendengarnya. Ternyata Satria bisa baik juga.
©©©
“Ay, g-a-w-a-t! Ferdi menelepon semalam. Dia bilang dia ingin bicara padaku sepulang sekolah nanti. Feelingku, dia berniat menyatakan perasaannya. Ferdi itu tipe orang yang memakan stroberinya terlebih dahulu. Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku pasti akan melukainya”. Tiara mondar-mandir gelisah.
Aku tak habis pikir. Ternyata tidak hanya otot tetapi otaknya juga bisa bertindak cepat. Pantesan dia selalu berlaku manis saat rapat tim kebersihan. Rupanya dia sudah terjangkit virus merah jambu gara-gara pesona Tiara.
Jam demi jam berlalu dengan cepat. Aku tidak jua menemukan solusi tepat untuk si Ferdi sampai bel pelajaran terakhir berbunyi. Ibu Ruby yang akan mengajar Bimbingan dan Konseling—karena akan memenuhi undangan kerabatnya—tidak bisa hadir sepenuhnya di kelas. Kami hanya diserahi tugas. Sementara aku mengerjakannya, Ferdi datang sambil mengemut es batangan. Dia merebut buku tugasku, “Disuruh buat apaan?”
Aku nyaris kesal dibuatnya tetapi aku merasakan adanya suatu kesempatan. Aku menyuruhnya duduk di sampingku agar aku bisa menerangkannya. Selang beberapa lama Ferdi larut dalam menulis. Kata-kataku memaksanya untuk memalingkan wajahnya dan melihatku, “Ada seseorang kan yang kamu sukai?”
Dari jauh aku melihat Tiara berdiri dan meninggalkan kelas. Aduh, dia pasti berpikir aku akan cerita macam-macam. Ugh, setidaknya aku harus berhasil.
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan” Ferdi kembali menulis. Aku perlu sedikit umpan. Aku berkata pelan, “Jangan bohong, aku tahu hari ini kau berniat mengungkapkan perasaanmu”. Refleks, Ferdi terlihat canggung. Dia bahkan berbicara lebih pelan dariku, “Dari mana kau tahu?” Aku mengangkat bahu dan tersenyum puas, “Firasat perempuan. Terlihat jelas dari wajahmu, kok. Dia sangat berarti ya untukmu?”
“Dia orang yang sangat menawan. Mungkin dia tidak sadar bahwa dia telah menjadi sosok yang membuatku bersemangat setiap hari ke sekolah.” Wah, baru kali ini aku melihat Ferdi tersipu. Hampir saja aku tertawa tapi aku ingat misi kali ini bukan untuk mengejeknya.
“Kalau begitu dia pasti menganggapmu sebagai sahabat terbaiknya. Namun, belum tentu dia bisa menyambut perasaanmu. Sekali kau merobek tabir persahabatan dengan tajamnya rasa di hatimu itu, kau tidak akan pernah mendapatkannya kembali.”
“Maksudmu?” Aku menghela napas panjang.
“Kau harus lebih memikirkan keadaan dirinya. Jangan sampai kau malah menyulitkannya setelah apa yang akan kau katakan nanti. Bertindaklah dengan bijak.” Ferdi terdiam. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa bersalah padanya.
“Faya! Bisa ke mari sebentar?” Fitri melambaikan tangannya dari luar kelas. Syukurlah aku tertolong dari situasi ini. Aku menitipkan tugasku pada Ferdi sebelum mendatangi Fitri.
Aku dibawa Fitri ke kelas sebelah yang ternyata muridnya sudah pulang semua. Eh, tidak! Ada satu orang di sudut ruangan. Satria? Tiba-tiba atmosfer dalam ruangan berubah. Ng, perutku mules. Kuharap itu pertanda baik.
“Faya, aku… AKU SUKA KAMU!” Apa?! Kenapa aku? Kenapa dia harus berteriak sekeras itu? Refleks, aku menggenggam tangan Fitri seerat mungkin.. Satria menatapku lembut dan berkata, “Maukah kau selalu ada di sisiku?”
Tentu saja tidak. Aku sempat ragu-ragu mengucapkannya karena aku tidak tega menyakiti Satria yang kini wajahnya memerah seperti kepiting rebus tetapi aku lebih tidak tega lagi menyakiti Tiara. Kukerahkan keberanianku untuk mengatakannya, eh? Fitri membalas genggaman tanganku lebih erat lagi. Dia menatapku tajam. Air mataku hampir jatuh karenanya.
Fitri menepuk bahuku, “Berpikirlah dengan tenang. Jawabannya tidak usah kau katakan sekarang”.
Aku terdiam sejuta bahasa. Aku tidak punya pilihan. Aku berusaha menahan bergetarnya suaraku, “Iya, beri aku waktu”. Satria menyunggingkan senyum ksatrianya yang aku yakin mampu membuat Tiara luluh tetapi tidak padaku. Aku meninggalkan kelas itu dengan perasaan berkecamuk. Saat tiba di kelas, aku melihat Tiara termenung sendirian. Kelihatannya teman-teman yang lain sudah pulang.
“Aku dengar semuanya. Faya pembohong! Dasar pengkhianat! Apa tidak cukup kau sudah meruntuhkan harga diriku di depan Ferdi? Aku benci kamu!”
Setelah berkata begitu, Tiara berlari pergi. Buru-buru aku mengambil tas dan mengejarnya. Aku berhasil meraih lengannya, “Kau salah paham. Dengar—” Tiara menepis tanganku sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku. Air mata menetes di pipinya. Dia berkata lirih, “Aku tidak mau mendengar apa pun sekarang. Kumohon…” Aku berdiri mematung. Tiara pun berlalu dari hadapanku.
Perlahan, aku berjalan ke gerbang sekolah. Dari kejauhan aku melihat Satria naik mikrolet. Beberapa meter dari tempat itu, aku melihat Fitri yang bergeming. Tatapannya… orang yang sedang jatuh cinta bisa dilihat dari matanya. Berarti bukan cerita lama, sampai sekarang pun Fitri masih menyukai ketua kebersihan sekolah itu. Lalu kenapa dia sampai rela membunuh perasaannya? Aku sudah tidak tahan. Bulir-bulir air mataku menetes bersamaan dengan derap langkahku menghampiri Fitri.
“Sampaikan pada Satria, aku tak bisa berada di sisinya. Maafkan aku…”
©©©
Ini yang ketiga kalinya Tiara memalingkan wajahnya. Dia terang-terangan menghindariku. Aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mendekatinya bahkan untuk sekadar berkata halo. Akhirnya, aku membuka buku Fisika dan mulai membenamkan diri dengan rumus-rumus. Toh, masa ujian sudah dekat.
Teng! Teng! Teng!
Waktu istirahat pun tiba tapi Satria tidak kunjung muncul. Aku merasa khawatir padanya. Jangan-jangan karena penolakanku? Aku lega ternyata bukan itu alasannya saat kutanyakan pada Fitri. Katanya, Satria pergi ke luar kota untuk sementara waktu karena urusan keluarga. Melarikan diri, eh? Entahlah…tapi kupikir mungkin lebih baik begini. Soalnya aku tak tahu harus berwajah seperti apa kalau bertemu dengannya.
“Faya.. apa kau benar-benar tidak bisa menerima Satria?” Nada bicara Fitri sedikit memelas. Aku merangkul Fitri lalu berbisik padanya, “Fit, memang dia adalah orang yang paling tidak layak ditolak. Seorang ksatria sejati gitu loh. Namun, dia bukan stroberi bagiku…”
Fitri melepaskan rangkulanku. Aku menggenggam tangannya, “Fit, jujur pada diri sendiri akan membuatmu lebih lega”. Sebelum meninggalkan kelas, dia tersenyum simpul padaku. Aku sedikit cemas, lalu bagaimana dengan Tiara ya?
Beberapa detik kemudian penghuni kelas hanya tinggal aku saja. Tiba-tiba Aldi muncul dan aku tidak berani mengangkat mukaku. Saat itu waktu berjalan luar biasa lambat dan aku tidak berhenti berharap agar dia cepat pergi.
Bukk! Bundelan kertas menimpuk kepalaku. Aku melihat Ferdi di luar kelas yang menertawakanku, menjulurkan jari telunjuk, dan menggerakkannya ke depan ke belakang. Jelas sekali dia menantangku. Aku berlari ke arahnya tapi si kecil itu sudah kabur duluan. Gedubrak! Tiba-tiba Ferdi jatuh tersungkur lantaran menginjak lubang di lantai. Aku jadi merasa iba melihatnya, “Kau tidak apa-apa?”
Ferdi tersenyum, “Terima kasih ya”. Aku menaikkan alisku tidak percaya. Selanjutnya dia pergi begitu saja seraya mengacungkan kedua jempolnya. Dengan perasaan bingung, aku kembali ke kelas.
Tak kuduga, aku dan Aldi berpapasan. Mata kami beradu. Spontan, kami berdua saling membuang muka. Jantungku berdegup kencang karena dia tidak kunjung beranjak dari posisinya. Akhirnya setelah detik ke empat puluh lima kami berdua bergerak ke arah yang berlawanan. Aku segera bernapas lega setelahnya.
“Kok suasananya kikuk banget…?” Aku kaget, Tiara muncul dan mengajakku bicara. Saking terharunya aku lompat memeluknya.
Tiara berkata, “Maaf ya. Aku salah paham. Ternyata Ferdi tidak tahu kalau kau tahu bahwa akulah orang yang disukainya. Kemarin Ferdi memberi boneka dan puisi yang judulnya ‘Sahabatku’. Aku senang sekali. Dan… tentang Satria. Aku memang sangat kesal kenapa dia malah suka padamu tapi biarlah. Aku yakin suatu saat akan datang seseorang yang lebih kusukai darinya untuk menempati posisi stroberi di hatiku. Lalu, ada apa antara kau dan Aldi tadi?”
“…Aku menolaknya. Kemarin dia menelpon dan menyatakan perasaannya padaku. Perasaanku kacau. Aku merasakan senang dan takut di saat yang sama.”
“Apa kau yakin dengan keputusanmu?”
Senyum tipis mengembang di bibirku, “Iya. Aku tidak bisa membiarkan diriku terjepit di antara dua sahabat itu. Walau aku harus merelakan satu-satunya hal yang paling kuinginkan sekalipun, aku yakin ini yang terbaik”.
©©©
Aku sudah tidak tahu berapa lama aku menangis. Aku menyeka air mataku dan beranjak dari tempat tidur. Sesaat setelah aku ke luar dari kamar, telepon rumah berdering. Aku mengangkat gagang telepon itu dengan ogah-ogahan.
“Faya, ini aku.” Deg! Aldi meneleponku? Wuih, rasanya senang sekali.
“Kudengar, Satria telah menyatakan perasaannya padamu. Namun, kupikir aku masih memiliki peluang meski hanya satu persen sekalipun.” Jantungku nyaris melompat mendengarnya. Tunggu, sepertinya tadi aku berhalusinasi.
“Sejak awal pertemuan kita, tak pernah terlintas di benakku kalau nantinya sosokmu yang lincah dan ceria itu bisa membuatku tampak bodoh dan kikuk. Faktanya, aku benar-benar sudah jatuh hati. Walau hanya lewat telepon, saat ini aku sedang berusaha mencuri hatimu. Apa aku berhasil?”