Bismillah
K
|
esadaranku pulih sempurna ketika arus sungai yang deras menabrak wajahku dengan tepat. Sejenak aku terkikik, “Menyenangkan!” Lalu perhatianku teralih pada pak Bahrun yang dengan cemas meneriakkan kata-kata yang tidak bisa kumengerti, Husnul yang setengah mati meneriakkan namaku berulang kali dan pak Nawir yang berjalan cepat ke bebatuan di tengah sungai. Aku berpikir keras menganalisis peristiwa yang terjadi. Lantaran salah memilih batu pijakan—kaki kananku masuk di celah kecil antarbebatuan—menyebabkan aku jatuh ke dalam air terjun kecil sungai itu. Tangan kananku yang dipegang erat oleh Azka—yang kini berada tepat di depanku, memunggungiku—menjadi alasan utama mengapa Azka ikut jatuh bersamaku.
Mendadak arus sungai yang seperti ombak kembali menghantam wajahku—membuatku berontak—menyebabkan seketika tangan kananku terlepas dari genggaman Azka. Aku terseret aliran sungai yang tidak bisa kubendung. Kurasakan aura kepanikan hinggap di pak Bahrun, Husnul dan pak Nawir yang mendengungkan kata-kata yang lagi-lagi telingaku tidak bisa mencernanya dengan baik. Azka mendesah cemas menolehkan pandangannya padaku. Ya Allah, jika Engkau masih menakdirkan hamba selamat, berikan hamba kekuatan.
Sebelum air sungai menyelundupkan seluruh kepalaku, kedua tanganku memeluk pinggang Azka. Kakiku meraba-meraba pijakan stabil di dasar sungai berusaha melangkah mendekati batu di tengah sungai.
“Raih tanganku!” Pak Nawir mengulurkan kedua tangannya. Aku menggeleng perlahan, aku pasti bisa mencapai batu di tengah sungai itu tanpa harus menggenggam tangan laki-laki yang bukan mahramku. Aku tahu aku sangat keras kepala. Suara-suara hati tentang keringanan dalam keadaan ketidakberdayaan menggelegar di kepalaku. Walaupun pak Nawir sudah berteriak marah dan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat reaksiku yang seakan tidak mau ditolong, tanganku tetap saja menolak meraih tangan bapak kepala desaku itu. Aku tidak bisa. Di saat seperti itu, aku masih saja membayangkan sebuah jarum besi tajam menusuk tepat di kepalaku.
Entah bagaimana menggambarkan rasa ketika Allah Ta’ala menakdirkan tanganku sendiri mampu mencapai batu dan akhirnya mampu jua mengangkat badanku dari dalam sungai. Aku terengah-engah, mencoba menghirup udara sebanyak yang aku bisa. Detik berikutnya Azka yang masih di dalam sungai pun bisa naik ke atas batu dengan selamat.
Aku menatap Azka bahagia, lalu mengalihkan pandangan terima kasih ke pak Nawir, pak Bahrun, dan Husnul yang telah mencemaskanku dari tadi. Mendadak hening pecah oleh tawa kami yang meledak di kaki gunung Bonto Daeng siang itu. Kami tertawa lepas. Sudah tidak kuhiraukan lagi keheranan Husnul yang melihatku masih tetap girang ketika terseret arus deras sungai, kepanikan luar biasa dari pak Bahrun, kepasrahan pak Nawir akan sifat keras kepalaku dan kebingungan Azka ketika aku lebih dulu berada di atas batu. Tawaku berhenti sejenak. Dalam hati aku bersyukur, Alhamdulillah aku masih hidup.
Perjalanan pulang ke rumah dibarengi dengan tawa dan tanpa henti-hentinya membahas kejadian tadi. Aku dan Azka hanya bisa ikut menertawakan diri sendiri. Entah apa jadinya bilamana rombongan yang lain melihat kejadian tadi. Mungkin keadaannya akan lebih parah lagi.
Yang jelas dari petualangan sehari ini aku belajar banyak hal, tentang rasa kecewa, rasa cemas, rasa takut, rasa histeris, rasa marah, rasa harap, rasa takjub, rasa malu, rasa lucu, rasa bahagia dan rasa cinta. Eh, kamu bertanya bagaimana rasanya? Ehm, bila kamu juga pernah mendaki gunung tinggi untuk berkebun, melihat antena pemancar yang sangat besar dan hanyut di sungai dalam sehari mungkin aku tidak perlu menjawabnya. Namun bila kamu tak pernah melakukannya, sinonim rasanya itu—walau tidak persis sama—seperti kamu melihat pelangi setelah basah kuyup karena kehujanan. Yah, mungkin seperti itu.
╣═╠
Makassar, 6 Februari 2011
Dusun Tamaona, Desa Bonto Daeng, Kabupaten Bantaeng
Kuliah Kerja Nyata Juli - Agustus 2010