Bismillaahirrahmaanirrahiim
Aku mengenalnya sejak sepuluh tahun lalu. Seorang siswi pindahan yang tiba-tiba memegang peranan penting dan menguasai sekolah dalam sekejap. Er-rr, menggelikan. Perempuan kaku, berkacamata dan sama sekali nggak ada manis-manisnya ternyata bisa menjadi Ketua OSIS. Siapa sih yang memilihnya? Ini gila, tanpa sadar satu suara untuknya juga berasal dariku. Mari berpikir aku kehilangan kesadaran waktu pemilihan Ketua OSIS. Yang jelas bukan karena aku tertarik padanya.
Ada sesuatu yang tidak biasa pada dirinya. Aku tahu, aku tidak berhak berkomentar seakan aku mengenal pribadinya. Faktanya, sekelas dengannya pun aku tidak pernah. Setiap hari, aku hanya melihat dirinya dari kelasku yang berseberangan dengan kelasnya. Hey, tolong garis bawahi ini, aku bukan penguntit. Aku hanya ingin memastikan gosip yang beredar tentangnya. Bahwa dia disukai oleh guru-guru karena menunjukkan prestasi belajar yang gemilang di kelas. Bahwa dia menghidupkan OSIS dan menjadikannya sesuatu yang berharga. Bahwa dia berhasil menaklukkan siswa ternakal di sekolah. Bukan dengan otot melainkan dengan hati, dia membuat siswa itu berubah drastis karena jatuh cinta padanya. Ck, kenapa aku begitu penasaran tentangnya? Mari berpikir aku terpengaruh pusaran air yang dibuatnya di lautan tanpa ombak. Yang jelas bukan karena aku tertarik padanya.
Ah, aku tak mampu memasuki SMA yang sama dengannya. Kecewakah aku? Dia memilih SMA Unggulan dengan rating yang tinggi. Aku dan beberapa teman yang lain bahkan tidak punya nyali untuk mengikuti tes masuknya. Aku tak punya kesempatan untuk melihat sosoknya lagi. Kabar baiknya, aku masih berusaha mencuri-curi dengar perkembangan hidupnya. Ah, mari berpikir aku mempunyai jiwa detektif dan objek kasusku adalah dia. Yang jelas bukan karena aku tertarik padanya.
Tiga tahun kemudian, dia melanjutkan kuliah di Teknik Elektro dan aku di Kimia. Kaget, kenapa dia memilih bidang yang di luar batas kemampuan seorang perempuan? Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Setidaknya aku dan dia berada dalam satu lingkup universitas. Jadi mungkin aku bisa bertanya langsung ketika sesekali berpapasan dengannya di koridor kampus. Semakin aneh saja, ketika melihatnya, aku menginginkan nomor ponselnya. Tidak hanya itu, aku jadi punya pikiran untuk membuang masa satu tahun di Kimia lalu mengikuti tes masuk lagi di Teknik Elektro.
Tiga tahun kemudian, dia melanjutkan kuliah di Teknik Elektro dan aku di Kimia. Kaget, kenapa dia memilih bidang yang di luar batas kemampuan seorang perempuan? Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Setidaknya aku dan dia berada dalam satu lingkup universitas. Jadi mungkin aku bisa bertanya langsung ketika sesekali berpapasan dengannya di koridor kampus. Semakin aneh saja, ketika melihatnya, aku menginginkan nomor ponselnya. Tidak hanya itu, aku jadi punya pikiran untuk membuang masa satu tahun di Kimia lalu mengikuti tes masuk lagi di Teknik Elektro.
"Loh tunggu, jadi kau akan menjadi juniorku tahun depan?! Ke-kenapa? Bukannya kau bilang kuliahmu menyenangkan?" katanya tak percaya setelah aku bercerita panjang lebar.
Aku tersenyum dan berkata lugas, "Ya, sangat menyenangkan. Tapi tetap saja aku merasa tidak cukup. Soalnya, bagaimanapun hatiku ada di Elektro."
"Whoa, gaya sekali kamu ini." dia terkikik, manis sekali. Lalu dia melanjutkan kalimatnya, "Bersemangatlah! Semoga sukses!"
Kalimat darinya cukup untuk menjadi alasan ketekunanku belajar menghadapi SNMPTN lagi. Aku pun lulus. Akhirnya aku berhasil selangkah lebih dekat dengannya. Berada di sekitarnya, aku begitu bangga melihat dia menjadi asisten yang menangani praktikum bagi mahasiswa baru. Hanya saja, aku merasa dia benar-benar tidak bisa diam di tempat. Karena setahun kemudian, dia sudah memakai toga dan menyabet gelar mahasiswa terbaik tingkat universitas saat wisuda. Fantastis, dia menyempurnakan studinya hanya dalam kurun waktu tiga tahun. Apaan sih dia? Lagi, tahu-tahu sudah menjadi mahasiswa pascasarjana. Aku benar-benar ingin membelah kepalanya dan memeriksa isi otaknya. Mari berpikir aku sudah mulai kehilangan akal sehatku. Yang jelas bukan karena aku tertarik padanya.
Kuberitahu, aku tidak berusaha untuk mendapatkan perhatiannya. Aku hanya ingin tahu bagaimana reaksinya ketika aku ada di hadapannya dan bercerita tentang niatku melanjutkan studi ke jenjang strata-2 yang sama dengannya. Seperti dugaanku, dia memberiku kata semangat dan beberapa nasihat hidup. Saat itu aku benar-benar berharap bisa mengejarnya secepat yang aku bisa. Aku bahkan begitu ingin dia berhenti sejenak sehingga memberiku kesempatan untuk bisa melangkah bersamanya. Namun, aku tahu pasti dia bukan tipe yang seperti itu. Kenyataannya, dia sampai melompat ke Negeri Sakura untuk melakukan penelitian tesisnya lalu berencana untuk menjadi Ph.D student di sana. Mari berpikir aku akhirnya kehilangan arah dan tersesat di kota mati. Yang jelas bukan karena aku tertarik padanya.
Tiba-tiba lamunanku terhenti. Aku melihatnya di luar kelas, dia melambaikan tangan. Hampir saja aku menghampirinya jika tidak menghargai profesor yang tengah mengajar. Aku bertanya-tanya, sejak kapan dia kembali dan sampai kapan dia akan di sini? Ah bagaimana ini, pikiranku berkelebat tak menentu. Aku mencari-cari kesempatan untuk bisa ngobrol dengannya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengetik sebait SMS dan mengirimkannya. Tak ada jawaban. Ck, aku gelisah. Keesokan harinya, aku kembali mengirimkannya SMS. Tetap tak ada jawaban.
Tringg! Dering pertanda sebuah SMS masuk di ponselku. Yes, ini darinya! Dia bersedia mengajariku persamaan transformasi Z dalam analisis isyarat dan sistem. Hatiku tertawa lega, dia benar-benar memiliki pengaruh dalam hidupku. Beberapa keputusan sulit pun berani aku ambil karena semangat darinya. Sadar atau tidak, dia adalah sosok yang paling ingin kudapatkan pengakuannya. Konyol memang, aku berharap dia bisa melihatku sebagai seseorang. Dan aku sudah berusaha mati-matian untuk itu selama bertahun-tahun. Namun sepertinya aku tak akan pernah bisa menang darinya, tak akan pernah.
Tanpa sadar, aku melintas di hadapan rumahnya yang berjarak kurang dari 2 kilometer dari rumahku. Ya, dia adalah tetangga jauhku. Sebuah baruga dari bambu dan janur berdiri kokoh di depan rumahnya. Dalam adat Bugis itu lebih dikenal sebagai gerbang pengantin. Aku terperangah, kapan dia akan menikah? Atau jangan-jangan dia sudah menikah? Argh, jantungku berdetak tak karuan. Mari berpikir saat ini aku tengah terkena serangan jantung. Yang jelas bukan karena aku tertarik padanya. Aku menghela napas. Ugh, sampai kapan aku akan mengingkari fakta bahwa aku tertarik padanya?
"Eh, kenapa bisa berpikir seperti itu? Bukan aku yang menikah melainkan kakak perempuanku." dia tersenyum menjelaskan.
Aku kembali bergumam, "Kupikir kau sudah menikah."
Spontan dia tersipu malu sebelum akhirnya dia tergelak lepas. Aku baru sadar, mungkin sejak dulu aku menginginkan tawanya. Detik ini, aku tidak tahu apa aku masih punya kesempatan untuk itu atau tidak. Aku tidak meminta banyak, berkhayal pun aku tak berani. Aku hanya bisa bilang, aku bersyukur bisa mengeluarkan begitu banyak usaha karena terpicu olehnya. Dia itu spesial. Dia bisa membuatku percaya bahwa aku bisa melakukan hal-hal yang kuanggap tidak bisa. Sosok luar biasa yang aku doakan bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Mari berpikir aku akan bahagia jika dia bahagia. Yang jelas, bukan karena aku tertarik padanya. Eh, salah. Yang jelas, ini karena aku tertarik padanya.
Makassar, dalam penyakit ke-ge-er-an egoism penulis
30 Desember 2012 Miladiyah - 16 Safar 1434 Hijriyah
Untuk dan hanya untuk seorang teman di luar sana
Apa benar kau berpikir seperti itu tentangku, eh?
Maaf ya. Aku benar-benar minta maaf.