Bismillah
"Ini kuberikan padamu."
Aku menerima biji bunga matahari sebagai kado perpisahan darimu.
Aku menerima biji bunga matahari sebagai kado perpisahan darimu.
Kamu, teman kecilku, tiba-tiba pindah rumah. Dahulu aku hanya tinggal menyeberang jalan jika ingin ke rumahmu. Sekarang aku harus menyeberang laut jika ingin bertemu denganmu. Saat ini, aku bersabar dengan surat-suratmu tiap pekan dan bunga matahari yang menjulang tinggi di taman belakang rumahku.
Hal aneh dari yang teraneh adalah aku belum pernah membalas satu kali pun suratmu. Ugh, aku tidak tahu apa yang sebaiknya kutulis. Seorang penulis sepertimu tidak akan mengerti betapa gugupnya aku. Aku pernah mencoba menulis surat balasan. Akan tetapi aku merasa nggak pas sehingga semua surat itu berakhir di tempat sampah. Aku mengenyam kalah dengan untaian katamu yang begitu memesona. Aku tahu, konyol sekali merasa kalah atas ketiadaan pertandingan. Hanya saja, ah-hh aku mati kutu!
Tahu-tahu saja, rasa cemas menghantuiku. Belakangan ini, isi suratmu selalu bercerita tentang rekan kerjamu. Rekan kerja yang mengagumkanlah. Rekan kerja yang tulus membantulah. Rekan kerja yang bla-bla-bla teruslah. Terserah, aku tidak membacanya sampai habis. Sedikit membuatku sebal.
"Pos!"
Mendengar teriakan petugas pos, aku berlari kecil keluar rumah. Ada surat darimu. Tak menunggu lama, aku langsung membuka dan membaca suratmu. Tuh, kan benar. Lagi-lagi kamu menceritakan rekan kerjamu.
Tukk! Sesuatu terjatuh. Foto? Eh, kamu melampirkan foto rekan kerjamu. Ck, apaan ini. Ok akan kulihat, memang orangnya kayak apa sih?!
Eh, cewek?
Oh, rupanya cewek. Aku tersadar, dia karyawati senior yang membantumu beradaptasi di kantor. Tiba-tiba rasa lega memenuhi relung hatiku. Lega? Loh, ini rasa apa?
Subuh keesokan hari, aku bergegas ke bandara udara. Ala kadarnya, aku mempersiapkan tiket pesawat pulang - pergi dalam semalam. Dari bandara aku langsung beranjak ke tempatmu. Aku cuek dengan tatapan orang-orang padaku yang tengah memeluk bunga matahari. Karena supir taksi juga tidak membantu, akhirnya aku berlari ngos-ngosan di kompleks perumahan, menanyakan dari satu orang ke orang lain dimana alamatmu.
Maaf, ya. Aku bukannya nggak mau menulis surat balasan. Walau aku jelas tidak mungkin menulis catatan harian seperti isi surat-suratmu selama ini. Itu bukan alasan kenapa aku tidak menulis surat. Lebih dari itu, karena sebenarnya yang ingin kutulis adalah sebuah surat cinta.
"Hah, kenapa kamu bisa ada di sini?"
Aku tersenyum menanggapi gejolak kagetmu.
Aku tersenyum menanggapi gejolak kagetmu.
Aku menatapmu lalu menyerahkan bunga matahari itu padamu. Aku berkata lantang, "Aku menyukaimu. Menikahlah denganku!"
Jantungku berdebar tak karuan. Sayangnya bunga matahari yang tingginya seperdua tinggimu itu tepat menenggelamkan wajahmu. Huh, aku kan jadi tidak bisa melihat reaksi pertamamu. Aku melirik jam tanganku dan tersentak. Waktu keberangkatanku sebentar lagi. Aku harus pergi saat ini juga kalau tidak mau ketinggalan pesawat. Er-rr, tadi kelamaan mencari alamat rumah sih.
"Eh, aku pamit ya! Soalnya aku harus mengejar pesawat."
"Eeh?!"
Lunglai, aku menyandar di kursi pesawat. Aku tertawa kecil saat mengingat wajahmu yang kebingungan dengan kedatangan plus kepergianku yang mendadak. Tunggu, jawaban darimu kan belum kudengar. Bodohnya! Aku lupa menanyakan jawabanmu. Ya sudahlah. Hari ini, aku sendiri yang mengantarkan sepucuk suratku. Sebaiknya aku menunggu dengan sabar, balasan dari surat pertamaku untukmu.
Ting! Tong!
Siang hari, bel rumah berbunyi sedang aku masih berbenah di kamar. Ibu mengetuk kamar dan memanggilku. Ketika aku membuka pintu kamar, Ibu langsung mencubit lenganku gemas. Loh, ada apa? Aku memandang ke arah ruang tamu.
"Haaaaaaah?!"
"Apa perlu sekaget itu? Bukankah di suratku tertulis bahwa aku dan orang tuaku akan berkunjung ke rumahmu?"
Kamu ada di sini. Nyatakah ini? Aku mundur selangkah kemudian berbalik masuk kembali ke kamar. Aku mengambil suratmu lalu bergegas keluar lagi. Aku membaca suratmu di hadapanmu. Oh, benar juga. Gawat, karena terlalu fokus pada rekan kerja jadinya aku nggak membaca sampai selesai. Ketika mengangkat wajah, aku mungkin terlihat seperti orang paling payah sedunia.
Sebuah surat kamu sodorkan padaku, "Ini jawabanku untuk yang kemarin."
Aku terperangah, "Cepat juga, ya."
"Gampang, kok."
Srek! Tanpa ragu aku merobek amplop surat yang katamu gampang itu. Hanya ada lipatan selembar kertas surat. Penasaran, aku membukanya. Gambar hati dengan tinta merah tertoreh di sana. Aku memandangmu, "Benar untukku?"
Kamu mengangguk manis, "Perlihatkan bunga matahari yang kamu tanam, dong!"
Aku tertawa, "Biarkan aku menyapa calon mertuaku dulu!"
Dear My Heart
Bunga matahari selalu menghadap ke arah matahari, kan?
Dari dulu sampai sekarang, seperti itulah harapku padamu.
Aku ingin kamu selalu mengingat diriku meski aku jauh.
Makanya aku memberikanmu kado biji bunga matahari.
Ini surat rahasia yang tidak kukirimkan kepada siapapun.
Termasuk kepadamu.
Himawari Yuuhin
(c) SY. 2005