Bismillaahirrahmaanirrahiim
Pernahkah kau merasa seperti seekor kecoak terbang yang terjepit di ketiak pintu? Ya, kecoak yang terbang begitu liarnya tapi dengan bodohnya malah berakhir di ketiak pintu. Pernahkah? Er-rr, aku tidak berharap akan merasakannya. Namun, ketika kau berada di ruang kuliah, duduk di bangku terdepan, tatapan dosen tertuju padamu -yang parahnya pura-pura mengantuk pun tidak membuatmu lepas dari perhatian- sedang kau terus melirik daun pintu, berharap perkuliahan segera berakhir lalu ngacir ke luar kelas. Fiuuhhh... rasanya benar-benar seperti kecoak terjepit. Ugh, tapi bukan kecoak mati ya.
Jarum jam yang menunjukkan waktu dhuhur sudah lewat sejam, membuat gerakku semakin gelisah. Wahai bapak dosen yang baik hati, mari kita break shalat dhuhur dulu. Aku berharap bisa berkata demikian dengan suara lantang. Sayangnya, suaraku tercekat di tenggorokan. Alhasil aku pun hanya bisa menyampaikan hal itu lewat isyarat tubuh. Eh, tapi kayaknya berhasil tuh. Menit berikutnya, aku sudah melanglang buana, mencari teman jalan ke mushalla. He eh, kuliahnya sudah selesai.
Tak lama, aku dan beberapa teman pun berjalan beriringan, memenuhi koridor kampus merah hitam. Tiba-tiba saja sebuah suara nyaring, messo sopran dan dayu memanggil namaku. Aku langsung tahu suara itu milik sekretaris pascasarjana teknik elektro. Aku memisahkan diri dari teman-teman lalu masuk ke ruang administrasi. Melihat kedatanganku, ibu paruh baya itu segera merespon, "Mau kemana Maya?"
"Ke mushalla di lantai 3, Bu."
"Waduh jauh sekali kan? Mending Maya shalat di sini saja."
Di sini? Loh, kan tidak ada ruang untuk shalat. "Tidak begitu jauh kok, Bu."
"Masuk saja ke ruangannya Prof. Di sana ada sajadah dan mukena punya Ibu. Kiblatnya menghadap ke pintu. Sudah punya wudhu belum? Tuh ada kunci wc, pakai saja."
Deg! Shalat di ruangan ketua prodi pascasarjana? Well, aku masih waras. "Makasih banyak, Bu. Tapi nanti tidak enak sama Prof. Lebih baik kalau-"
"Tidak apa-apa. Lagipula sedari tadi Prof. tidak ada, kok. Sudah sana, bergegaslah!"
Aku mati kutu. Rasanya seperti kejepit dua kali. Tak mampu berkilah lagi, akhirnya aku masuk ke ruangan Prof. Memilih spasi di belakang kursi tamu, aku menggelar sajadah. Menghadap kepada Rabb Yang Maha Agung, menunaikan kewajibanku sebagai seorang hamba. Shalat dhuhur pun kutegakkan.
Sejujurnya ada rasa aneh yang timbul usai melaksanakan shalat dhuhur di tempat ini. Halo, ini ruang kerja loh. Parahnya lagi, ini ruang orang nomor satu yang harus kusegani. Antara mau tertawa atau tertekan, tapi bagaimanapun diam adalah pilihan bijaksana. Lagipula dalam hatiku, terpatri sebuah hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu’anhu yang menyatakan, "Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, iringilah kesalahan dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik." (HR. Tirmidzi). Jadi aku pun tidak ambil pusing dengan pikiran-pikiran aneh yang sedari tadi membuntutiku. Tak ragu, aku segera berdiri lagi untuk melaksanakan shalat sunnah rawatib.
Drap! Tap! Tap! Tap!
Sejujurnya ada rasa aneh yang timbul usai melaksanakan shalat dhuhur di tempat ini. Halo, ini ruang kerja loh. Parahnya lagi, ini ruang orang nomor satu yang harus kusegani. Antara mau tertawa atau tertekan, tapi bagaimanapun diam adalah pilihan bijaksana. Lagipula dalam hatiku, terpatri sebuah hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu’anhu yang menyatakan, "Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, iringilah kesalahan dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik." (HR. Tirmidzi). Jadi aku pun tidak ambil pusing dengan pikiran-pikiran aneh yang sedari tadi membuntutiku. Tak ragu, aku segera berdiri lagi untuk melaksanakan shalat sunnah rawatib.
Drap! Tap! Tap! Tap!
Eh, bukankah itu suara langkah kaki? Bukankah itu bunyi gesekan antara sepatu pantofel dengan lantai porselen? Bukankah itu-? Otakku kehabisan napas. Aku tak mampu berpikir. Drap! Tap! Tap! Aku masih dalam posisi shalat ketika sesosok pria dengan rambut nyaris tak berakar lagi di kepalanya, bertubuh jangkung, berkumis tipis dan beraroma jeruk lemon memasuki ruangan. Profesor datang! Tamatlah riwayatku. Goodbye, days!
Tidak, aku belum mati. Astaghfirullah yang benar saja, jantungku nyaris copot! Ide-ide luar biasa bertaburan secepat kilat. Apa aku harus segera menyapa profesor yang melihatku dengan sorot kaget tak tertahankan itu? Hai Prof. Apa aku harus membatalkan shalat sunnahku lalu melengos kabur? Permisi Prof. Apa aku harus pura-pura tak melihat, tak mendengar dan tak merasakan apapun? Maaf Prof.
Ck, aku tidak melakukan satu pun dari ide tersebut. Yang terjadi adalah aku memakai teknik kekosongan pikiran. Sebisa mungkin aku mengatur napasku, begitu pula dengan debaran jantungku. Hingga aku menuntaskan rakaat shalatku. Tak kuhiraukan lagi percakapan yang terjadi antara Prof. dan ibu sekretaris tentang pembagian mata kuliah yang mulai menggaung di dalam ruangan.
Ck, aku tidak melakukan satu pun dari ide tersebut. Yang terjadi adalah aku memakai teknik kekosongan pikiran. Sebisa mungkin aku mengatur napasku, begitu pula dengan debaran jantungku. Hingga aku menuntaskan rakaat shalatku. Tak kuhiraukan lagi percakapan yang terjadi antara Prof. dan ibu sekretaris tentang pembagian mata kuliah yang mulai menggaung di dalam ruangan.
Seusai shalat, aku cepat-cepat melipat sajadah. Masih dalam mode teknik kekosongan pikiran, aku mencari-cari ponsel dan kunci mobilku yang tadi kuletakkan di atas kursi tamu. Tapi kok nggak ada ya? Aku berdiri dan mengedarkan pandangan. Gejolak histeris melejit dari mataku yang membelalak. Teknik kekosongan pikiranku terpatahkan. Celaka dua belas! Ponselku... kunci mobilku... ada di atas meja profesor. Sekedar informasi, barang-barangku hanya berjarak lima sentimeter dari tangan profesor. Aku baru ingat, merk dan tipe ponselku sama persis dengan milik profesor. Mungkinkah profesor mengira ponsel milikku adalah miliknya? Yaa Allah Yaa Rabb. Sesuatu banget ya. Aku gelagapan.
"Maaf, Prof. Permisi..." kataku sepelan mungkin hingga aku hampir tak mendengar suaraku sendiri saat mengambil barang-barangku dari atas meja. Ternyata aku tak perlu khawatir diperhatikan, karena detik ini juga aku bak miss invisible. Yup, pasalnya Prof. dan ibu sekretaris tengah larut dalam persiapan rapat antardosen. Dengan hati-hati, aku langsung keluar dari ruangan. Apa kau tahu bagaimana rasanya begitu kakiku memijak petak pintu keluar? Layaknya seorang narapidana yang baru saja bebas dari penjara, aku merasa begitu lega. Aku mengembuskan napas kencang-kencang.
"Tunggu...!!" suara barito Prof. menghentikan denyut legaku. Glek! Aku menelan ludah. Perlahan aku membalikkan badan dan berusaha menyunggingkan senyum, "Iya, Prof?"
"Tolong gantikan saya mengajar di kelas mahasiswa S1, mata kuliah material elektroteknik, semester ganjil ini. Bisa kan?"
Eh, apa? Prof. mengangkatku sebagai asistennya? Nggak salah nih? Ah seseorang, tolong cubit aku sekarang. Katakan aku sedang bermimpi. Katakan ini tidak nyata. Ya, katakan ini ilusi. Aku memandang profesor dalam diam. Membuyarkan lamunanku, Prof. mengulang pertanyaannya,"Bisa kan?"
Tergagap, aku menjawab, "...i-i-iya Prof. Insya Allah."
Refleks, Prof mengeluarkan senyum tipis. Aku lalu mengangguk dan pamit undur diri. Kali ini, aku benar-benar melangkahkan kakiku keluar dari ruangan. Masya Allah, hari ini aku benar-benar dibuat terpana oleh skenario hidup dari langit. Begitu lembut, kaku dan tak disangka-sangka. Pertanyaan terkeren hari ini adalah memangnya Prof. tidak marah ya, aku menggunakan ruangannya untuk shalat?
Tiba-tiba saja rasa haru dan kagum bercampur menjadi satu. Profesor menjadi sosok pemimpin yang begitu besar di mataku. Seperti khalifah Umar bin Al-Khattab Al-Faruq yang selalu berkata lantang kepada rakyatnya, "Sesungguhnya urusan kalian yang paling utama dan paling penting di depanku adalah ibadah shalat, barangsiapa yang menjaganya maka ia benar-benar telah menjaga agamanya, dan barangsiapa yang menyia-nyiakannya maka ia lebih menyia-nyiakan urusan yang lain." (HR. Imam Malik).
Alhamdulillah Tabaarakallahu Ta'ala. Hari ini hatiku senang. Bukan karena tidak kena marah atau karena dipercaya sebagai asisten dosen. Ini lebih karena orang-orang di sekitarku begitu menghangatkan, laksana cahaya di atas cahaya. Subhanallah, selalu memberikan motivasi dan fasilitas dalam berbuat kebaikan. Ditambah lagi, tak pernah luput menomorsatukan akhlak yang baik. Ah betapa nikmatnya hidup berukhuwah.
Suasana hatiku begitu riang. Bahkan ketika ada yang mengetuk kepalaku, aku tak akan gusar tuh. Syalalala. Eh tunggu dulu. Tadi Prof. bilang mata kuliah apa? Material elektroteknik, huh? Ma-te-ri-al? Sepupunya medan elektromagnetik yang berisi rumus mematikan beserta turunannya itu? Uhuk, gawat! Itu mata kuliah yang dulu paling kubenci. Gila, tingkat stressku sepertinya meningkat. Arghhh!
Makassar, 26 Januari 2013 M / 14 Rabiul Awal 1434 H
*) Tulisan ini kudedikasikan untuk Peri Aurora.
Bagaimana, apa aku sudah sedikit berubah?
Hahaha, peace!
"Tolong gantikan saya mengajar di kelas mahasiswa S1, mata kuliah material elektroteknik, semester ganjil ini. Bisa kan?"
Eh, apa? Prof. mengangkatku sebagai asistennya? Nggak salah nih? Ah seseorang, tolong cubit aku sekarang. Katakan aku sedang bermimpi. Katakan ini tidak nyata. Ya, katakan ini ilusi. Aku memandang profesor dalam diam. Membuyarkan lamunanku, Prof. mengulang pertanyaannya,"Bisa kan?"
Tergagap, aku menjawab, "...i-i-iya Prof. Insya Allah."
Refleks, Prof mengeluarkan senyum tipis. Aku lalu mengangguk dan pamit undur diri. Kali ini, aku benar-benar melangkahkan kakiku keluar dari ruangan. Masya Allah, hari ini aku benar-benar dibuat terpana oleh skenario hidup dari langit. Begitu lembut, kaku dan tak disangka-sangka. Pertanyaan terkeren hari ini adalah memangnya Prof. tidak marah ya, aku menggunakan ruangannya untuk shalat?
Tiba-tiba saja rasa haru dan kagum bercampur menjadi satu. Profesor menjadi sosok pemimpin yang begitu besar di mataku. Seperti khalifah Umar bin Al-Khattab Al-Faruq yang selalu berkata lantang kepada rakyatnya, "Sesungguhnya urusan kalian yang paling utama dan paling penting di depanku adalah ibadah shalat, barangsiapa yang menjaganya maka ia benar-benar telah menjaga agamanya, dan barangsiapa yang menyia-nyiakannya maka ia lebih menyia-nyiakan urusan yang lain." (HR. Imam Malik).
Alhamdulillah Tabaarakallahu Ta'ala. Hari ini hatiku senang. Bukan karena tidak kena marah atau karena dipercaya sebagai asisten dosen. Ini lebih karena orang-orang di sekitarku begitu menghangatkan, laksana cahaya di atas cahaya. Subhanallah, selalu memberikan motivasi dan fasilitas dalam berbuat kebaikan. Ditambah lagi, tak pernah luput menomorsatukan akhlak yang baik. Ah betapa nikmatnya hidup berukhuwah.
Suasana hatiku begitu riang. Bahkan ketika ada yang mengetuk kepalaku, aku tak akan gusar tuh. Syalalala. Eh tunggu dulu. Tadi Prof. bilang mata kuliah apa? Material elektroteknik, huh? Ma-te-ri-al? Sepupunya medan elektromagnetik yang berisi rumus mematikan beserta turunannya itu? Uhuk, gawat! Itu mata kuliah yang dulu paling kubenci. Gila, tingkat stressku sepertinya meningkat. Arghhh!
Makassar, 26 Januari 2013 M / 14 Rabiul Awal 1434 H
*) Tulisan ini kudedikasikan untuk Peri Aurora.
Bagaimana, apa aku sudah sedikit berubah?
Hahaha, peace!
“Artikel ini diikutsertakan dalam Giveaway Senangnya Hatiku”