Kisah Kelahiran Putri Cahaya

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Hari ini saya akan mencoba mengenang kembali proses kelahiran anak kedua saya, bayi perempuan cantik, putri cahaya kami. Ada yang penasaran? Hehehe yuk cekidot.

Saat kontraksi itu datang, usia kandungan saya terhitung 40 weeks kurang dua hari, yaitu 39 weeks 5 days. Hari Rabu, tanggal 22 Juni 2016 atau bertepatan dengan 17 Ramadhan 1437 Hijriyah. Saya sudah menantikan kelahirannya sejak memasuki 36 weeks. Sayangnya hari demi hari terlewati dengan buaian kontraksi palsu. Tak disangka, ternyata jatuhnya hari ini. He em, bayi memang selalu punya waktu sendiri untuk lahir.

Lanjut, menjelang adzan subuh hari itu, saya merasakan kontraksi teratur namun rasa sakitnya masih bisa saya tahan. Khawatir hanya kontraksi palsu, saya tidak memberitahukannya pada siapapun, termasuk Papanya Mahdi. Qadarullah, Papanya Mahdi sedang sakit, sedikit meriang dan batuk, akhirnya memutuskan istirahat dengan meminta izin tidak masuk kantor. Mau bagaimana lagi, kemungkinan besar virusnya menular dari kami (saya dan mahdi, red) soalnya sejak sepekan lalu kami berdua sudah sengsara setengah mati dengan flu dan batuk yang menyerang.

Anehnya, kontraksinya tidak berhenti.
Semakin kuat. Semakin sakit. Semakin tak tertahankan.

Pukul 08.00 pagi saya mulai berpikir ini kontraksi asli. Saya mulai bersuara ke Papanya Mahdi, "Papa, sepertinya mama mau melahirkan."

"Kapan?"

Saya terdiam. Kalau ditanya kapan, saya juga tidak tahu. Soalnya tidak ada tanda klinis apapun. Tidak ada bloody show, tidak ada lendir darah, tidak ada ketuban pecah. Bingung. Bisakah kontraksi teratur kali ini dipercayai sebagai tanda lahiran?

"Ya, pembukaan 2 sempit. Insyaa Allah lahirannya sebentar lagi, bisa sore atau malam." kata Bundanya Nasya setelah melakukan pemeriksaan dalam.

Pukul 10.00 pagi, berbekal sari kurma, madu, telur rebus dan teh manis hangat, saya mencoba mengatur napas. Ya Allah, kontraksinya semakin kuat, sepertinya bayi mulai mendorong ke bawah, mencari jalan lahirnya. Alhamdulillah ala kulli haal, kondisi lemah yang bertambah-tambah, semakin membuat saya kepayahan.

Dan yap! Sampailah pada titik dimana saya tidak bisa menahannya. Rasanya sudah tidak bisa digambarkan. Ya Allah, tolong saya.

"Papaaa...!"

Butuh sejam lebih untuk bersiap-siap. Pukul 11:15 siang kami ke rumah sakit. RSIA Khadijah di jalan kartini. Sepanjang jalan, pikiran saya dipenuhi tasbih, tahmid dan tahlil sebagai pertolongan pertama ketika kontraksinya datang. Ya, relaksasi dzikir dalam proses persalinan. Sungguh, itu sangat membantu mengontrol fokus dan kesadaran diri. Walaupun rasa sakitnya masih tetap ada, setidaknya tidak ada teriakan dan jejeritan yang terlontar.

Pukul 11:45 siang kami tiba. Papanya Mahdi langsung membawa saya ke IGD (Instalasi Gawat Darurat, red). Hanya ada kami berdua. Qadarullah lagi-lagi saya melahirkan tanpa didampingi orang tua. Perawat meminta Papanya Mahdi untuk mengurus administrasi tapi Papanya Mahdi bergeming, memilih mendampingi proses lahiran anak kedua kami terlebih dahulu.

"Pembukaan lengkap" ucap perawat usai melakukan pemeriksaan dalam.

Saya menatap mata perawat dan berkata tegas, "Saya tidak mau ditangani oleh laki-laki, baik dokter maupun perawatnya."

Tiba-tiba wajah perawat tersebut berubah pias, "Aduh bagaimana, residen jaganya laki-laki."

"Pokoknya tidak bisa!" Sebelum saya buka suara, Papanya Mahdi sudah keburu terpancing emosi. Nada bicaranya sudah naik satu oktaf, hehe.  Subhanallah.

Saya mengerti. Ketika kondisi saya sudah tidak mampu ke kamar bersalin, dan itu berarti proses lahiran akan dimulai di sini, Papanya Mahdi mulai sedikit uring-uringan. Bagaimana tidak, kondisi IGD sangat-sangat-sangat tidak nyaman. Begitu riuh-redam suara oleh banyaknya pasien, pendamping pasien dan para perawat yang kasak-kusuk, ditambah lagi privasi kami hanya dibatasi oleh gorden yang mudah sekali terbuka. Lengkap deritanya.

"Laailahaillallah!" spontanitas saya berteriak, seakan ada balon meletus keluar dari rahim saya. Olala, ketuban saya pecah!

Perawatnya panik, "Bu jangan mengedan dulu, dokternya ibu masih dalam perjalanan."

What?! Apa saya nggak salah dengar? Pembukaan 10, ketuban pecah, kontraksi kuat, dan sekarang masih disuruh menunggu? Ckckck mana bisa! Ya Allah, bayinya sudah siap lahir detik itu juga.

"Eggghh---" saya mengedan.

Saya tersenyum haru saat mata saya bertatapan dengan mata Papanya Mahdi. Posisinya begitu menandakan rasa cintanya. Papanya Mahdi berdiri melentangkan kedua tangan, memegang 2 sekat gorden di tiap tangan, menjaga agar tidak ada celah gorden yang terbuka ketika privasi saya terbuka.

Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya berpakaian merah muda datang, yang nantinya saya ketahui bernama Bidan Ina. "Bu, ini kepalanya sudah di pintu, ayo Bu yang kuat mengedannya."

Kontraksi berikutnya datang, dan... "Oek... oek... oek..."

Doa Perlindungan untuk Anak

Masya Allah, lahirlah Putri Cahaya kami. Saya langsung mendekapnya dalam proses IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dengan durasi yang lamaaa, Alhamdulillah, karena sembari melahirkan plasenta dan menunggu dokter saya datang untuk menjahit perineum yang ternyata robek. Di atas puncak kesyukuran, saya masih tidak percaya begitu mulusnya bayi kami meluncur keluar. Begitu cepat seakan tanpa jeda. Dan hanya dua kali mengedan. Super Allahu Akbar!

Nurfania Qurani Helmi lahir pada hari Rabu, 22 Juni 2016 atau 17 Ramadhan 1437 Hijriyah pukul 12:00 siang dengan berat 3,2 kg, panjang 49 cm dan lingkar kepala 33 cm. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.

Papanya Mahdi datang mendekat, memeluk dan memberi kecupan kepada kami berdua. Detik berikutnya, Bundanya Nasya pun datang. Di saat itu barulah Papanya Mahdi mengurus administrasi, sedang Bundanya Nasya mengurus saya dan ponakan barunya, Fania.

Eh, Mahdi? Mmh... saya juga kangen Mahdi. Sedari tadi dia ada di luar ruangan kok, menunggu dengan tidak sabar untuk segera masuk ke kamar perawatan. Dan sekarang saya yang tidak sabar melihat reaksinya ketika melihat adik Fania-nya. Jehehehe.



Makassar, 30 Agustus 2016
#KisahKelahiranPutriCahaya



0 komentar:

Post a Comment