Bismillah
Aku mengerutkan dahi. Tangan kananku memegang kemudi dan tangan kiriku memegang ponsel. Alhamdulillah, dhuha ini Fatih begitu menawan dan aku bisa membawanya tanpa beban bahkan sok membaca sms di tengah jalan. Ya, saat ini aku dalam perjalanan menuju ke suatu tempat untuk memenuhi sebuah janji. Aku melirik layar sms ponselku, lorong ketiga setelah rumah sakit bersalin, maju terus dan jangan pernah belok, ikuti jalan aspal sampai dapat tanjakan lalu lurus hingga mencapai turunan dan di sanalah, rumah panggung berada, milik kakak bermata cokelat.
Ya Allah Ya Rabb, dalam hati aku terus menerus berdzikir karena ketakutan bakal tersasar. Hello? Tersasar di tengah kota? Aku tahu, aku keterlaluan. Namun, aku benar-benar buta mencari alamat di kawasan Tello Baru itu. Kecepatanku hanya 20 km per jam bahkan di bawahnya. Celingak-celinguk memastikan aku tidak salah jalan, sesekali aku berhenti dan membaca lagi sms dari kakak.
Lucunya, kadang aku benar-benar tertipu karena sms. Maksudku ketika aku bertanya lorongnya bisa dimasuki mobil? Dan jawabannya iya, ternyata aku memikirkan lorong yang terlalu besar. Belum lagi ketika dikatakan maju terus, ehem, maju itu sebelah mana? Ada pertigaan dan aku tidak tahu harus kemana. Ikuti jalan aspal? Ok, aku mulai gila. Kurasa semua jalanan beraspal. Harapan muncul ketika tanjakan mulai terlihat. Ng, aku menggosok mata tak percaya, tanjakan itu berbentuk huruf S loh. Bukankah yang namanya tanjakan itu berbentuk I alias lurus ke atas saja? Subhanallah, kakiku gemetar menginjak pedal gas. Aku mengeluh, "Kakak.....!! Ini benar-benar berbeda dari bayanganku."
Aku berhasil melewati tanjakan fear factor itu, Alhamdulillah yah sesuatu. Aku menghela nafas dan berhenti di samping lapangan. Ada perduaan dan aku bingung sempurna harus kemana. Lima menit aku merenung dan MasyaAllah tiba-tiba Fatih bergerak sendiri, ternyata jalanannya menurun. Itu berarti aku semakin dekat sasaran kan? Ah, benar! Aku melihat kakak bermata cokelat menggandeng keponakannya di pagar rumah. Aku tergelak, Ya Allah, aku memang keren sekali.
"Tak kusangka, Fatih itu berwarna merah ya....(?!)" Ucap kakak sembari menyalamiku. Aku nyengir, "Iya, loh memangnya aku belum pernah bilang ya? Kakak pikir warnanya apa?"
"Seperti dirimu, berwarna putih. Merah? Wah, mencolok sekali."
Tawaku melompat keluar, "Sengaja, supaya tidak ada yang berani mengambil jalanku, Kak! Sok rewa (berani, red) padahal aslinya bodoh setengah mati."
Kakak menuntunku masuk ke dalam rumahnya. Dia berkedip, "Tapi setidaknya kehadiranmu di sini sudah membuktikan kalau kemampuan menyetirmu sudah semakin ok loh." Aku tersenyum malu, kakak bisa bicara seperti itu karena tidak tahu kemarin aku menabrak pintu garasiku sendiri.
Tabaarakallahu Ta'ala... rumah kakak adem, aman dan nyaman. Pantas saja kakak lebih memilih istirahat di rumah ketika hari libur. Suasananya menjamin kepuasan batin tersendiri. Kamipun bercokol di ruang tamu yang sepi. Aku menengadahkan tangan pada kakak, "Mana suratnya?"
"Tidak ada. Aku belum sempat membuatnya." Kakak menggeleng pelan.
Aku menganga, "Kalau begitu buat sekarang saja ya!" Kakak menggeleng untuk kedua kalinya. Aku langsung mengguncang-guncang bahunya. Kakak menutup muka lalu bergegas berdiri, masuk ke kamar dan keluar dengan membawa secarik kertas plus pena. Aku senyum penuh kemenangan.
"Memangnya suratmu sendiri sudah jadi?"
Pandangan kualihkan ke langit-langit, "Belum. Tapi bahan-bahannya sudah siap kok!"
"Memangnya mau buat kue?!" Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan itu. Kakak menghela nafas dan tidak juga menulis. Aku tanya kenapa dan kakak melontar senyum aneh. Kakak mengambil ponselnya, mengetik sms lalu memusatkan perhatiannya pada laptop. Aku cemberut, "Kakak... Ayo buat suratnya. Kuberi waktu lima belas menit."
Tiba-tiba kakak menelpon gerangan si penerima surat nantinya via yahoo messenger. Pupil mataku membesar. Hey, maksudnya? Telepon terhubung dan terdengar suara dari seberang, kakak tertawa geli di sampingku. Dan ok, nafasku kacau. Aku bahkan ragu saat itu aku masih bernafas. Aku bergeming di tempat. Pita suaraku lenyap. Walau kakak merangkulku erat, aku tetap membisu.
Jelas-jelas ini jebakan. Seharusnya aku kesal tapi entah kenapa saat melihat tangan kakak langsung lancar membuat surat, aku tersenyum. Tepat lima belas menit kakak memberikan suratnya padaku. Wow. Lalu aku mendelik, memastikan kakak tidak membocorkan apa yang kami lakukan saat ini.
Sebelum pulang, kakak membawaku ke warung spesial nomor dua di hatinya. Kami makan mie pangsit dengan bakso yang super gede. Ehm... Yummy...! Lezat sekali. Mana setelah itu kakak membelikan es krim pelangi kesukaanku. Wah, masyaAllah. Lezatnya jadi berkali-kali lipat.
Oh iya, apa aku sudah menyebutkan tentang betapa luasnya rumah kakak? He eh ^^ Subhanallah~ luas dan penuh bunga cantik nan berwarna-warni. Aku terpikat pada tanaman berdaun pink yang menjulang, namanya Cordyline Fruticosa. Aku menatap lama dan bergumam, "Aku ingin menuliskan pesan di daun itu."
Kakak menyelidik, "Kenapa? Mau kupetikkan?"
Aku mengangguk cepat. Ketika daun itu berada di genggamanku, hatiku meluruh. Hanya gara-gara sehelai daun, rupanya bisa membawa perasaanku seperti berjalan di karpet merah selebritis, dilindungi peri-peri romantis dan masuk ke dalam rumah coklat yang paling manis. Apakah jika orang lain yang menerima daun ini akan merasakan hal yang sama juga? Ehm, mungkin tidak. Untuk itulah dibutuhkan surat.
Kedatanganku hari ini untuk memenuhi warna dan janji. Sebisa mungkin aku ingin melakukannya dengan sempurna. Hidup ini memang sangat penuh warna ya. Bila hari ini berwarna pink, tak ada jaminan kalau esok hari akan berwarna pink juga. Karenanya, kupikir ini terakhir kali aku melihat warna pink itu. Kuharap aku sudah memberikan sayap terkuat untuk bisa terbang dan menghadapi angin badai di arus pantai kehidupan. Hilanglah cemas, kaburlah gelisah. Berkas cahaya itu nyata walau tanpa aku. Sungguh.
Aku memeluk kakak dengan erat. Aku belajar banyak hal hari ini, bagaimana menenun hati untuk Fatih, membuat kue surat, pita suara lenyap, terpikat daun pink, memberi sayap cahaya dan memenuhi janji. Sepulang dari sini, aku punya proyek yang harus kutuntaskan. Ini tentang surat, daun dan kamu. Tahu tidak, sebenarnya terima kasih itu adalah kata yang ajaib, kata itu bisa membuat kita merasa sedikit bangga dan membuat hati menjadi kuat. Makanya terima kasih sudah mencemaskanku, terima kasih sudah memberiku semangat, terima kasih sudah memikirkanku, terima kasih sudah menyayangiku. Terima kasih.
Makassar, Maret 2012 Miladiyah.
Jumadil Ula 1433 Hijriyah.
Sebelum pulang, kakak membawaku ke warung spesial nomor dua di hatinya. Kami makan mie pangsit dengan bakso yang super gede. Ehm... Yummy...! Lezat sekali. Mana setelah itu kakak membelikan es krim pelangi kesukaanku. Wah, masyaAllah. Lezatnya jadi berkali-kali lipat.
Oh iya, apa aku sudah menyebutkan tentang betapa luasnya rumah kakak? He eh ^^ Subhanallah~ luas dan penuh bunga cantik nan berwarna-warni. Aku terpikat pada tanaman berdaun pink yang menjulang, namanya Cordyline Fruticosa. Aku menatap lama dan bergumam, "Aku ingin menuliskan pesan di daun itu."
Kakak menyelidik, "Kenapa? Mau kupetikkan?"
Aku mengangguk cepat. Ketika daun itu berada di genggamanku, hatiku meluruh. Hanya gara-gara sehelai daun, rupanya bisa membawa perasaanku seperti berjalan di karpet merah selebritis, dilindungi peri-peri romantis dan masuk ke dalam rumah coklat yang paling manis. Apakah jika orang lain yang menerima daun ini akan merasakan hal yang sama juga? Ehm, mungkin tidak. Untuk itulah dibutuhkan surat.
Kedatanganku hari ini untuk memenuhi warna dan janji. Sebisa mungkin aku ingin melakukannya dengan sempurna. Hidup ini memang sangat penuh warna ya. Bila hari ini berwarna pink, tak ada jaminan kalau esok hari akan berwarna pink juga. Karenanya, kupikir ini terakhir kali aku melihat warna pink itu. Kuharap aku sudah memberikan sayap terkuat untuk bisa terbang dan menghadapi angin badai di arus pantai kehidupan. Hilanglah cemas, kaburlah gelisah. Berkas cahaya itu nyata walau tanpa aku. Sungguh.
Good Luck |
Aku memeluk kakak dengan erat. Aku belajar banyak hal hari ini, bagaimana menenun hati untuk Fatih, membuat kue surat, pita suara lenyap, terpikat daun pink, memberi sayap cahaya dan memenuhi janji. Sepulang dari sini, aku punya proyek yang harus kutuntaskan. Ini tentang surat, daun dan kamu. Tahu tidak, sebenarnya terima kasih itu adalah kata yang ajaib, kata itu bisa membuat kita merasa sedikit bangga dan membuat hati menjadi kuat. Makanya terima kasih sudah mencemaskanku, terima kasih sudah memberiku semangat, terima kasih sudah memikirkanku, terima kasih sudah menyayangiku. Terima kasih.
Makassar, Maret 2012 Miladiyah.
Jumadil Ula 1433 Hijriyah.