Bismillah
Suatu siang yang terik, otakku benar-benar memanas usai mengitari fitur tercanggih calon teknologi komunikasi generasi ke empat. Aku mengerutkan kening ketika ketua kelas mengumumkan bahwa dosen untuk kuliah berikutnya sudah dalam perjalanan menuju ruangan ini. Itu artinya -kurang dari lima menit- aku harus siap bergumul dengan buku dan pena lagi. Jarum jam di tanganku sudah menunjukkan waktu dhuhur. Aku melirik ketua kelas dan rupanya dia langsung paham maksudku, "Iya, tidak apa. Izin shalat saja dulu." tukasnya pelan.
Aku beranjak dari kelas bersama seorang kakak, teman kuliah yang begitu sabar menghadapi tingkah kekanakanku. Kami melangkah beriringan ke arah WC (water closet, red) untuk mengambil air wudhu. Aku memaku pandangan ke lantai. Setengah berbisik aku berucap, "Semakin hari, semakin banyak hal yang harus dipikirkan ya Kak. Ng, sebegitu sulitnyakah menjadi dewasa?" Tak ada jawaban. Kakak terdiam di sampingku. Melihatnya termenung, aku pun tidak bertanya ulang dan memilih ikut diam.
"Maya, mau masuk duluan?" tanya kakak sesaat setelah berada di dalam WC. Aku meresponnya dengan anggukan manis dan langsung menghambur ke dalam kloset. Br-rrr, benar-benar sensasi yang menyegarkan ketika air menyapa kulitku. MasyaAllah. Rasa lelah dan penat seakan menguap entah kemana. Ketika keluar dari kloset, kakak menyambutku dengan senyum tertahan. Eh?
"Maya, tolong peluk aku."
Tanpa perlu diminta dua kali, aku serta merta membuka kedua lenganku. Aku membiarkan kakak mengalungkan lengan ke bahuku dan membenamkan wajah ke pangkal leherku. Tak elak lagi, pelukan balasan dariku pun langsung kuberikan. Sayangnya, tubuhku yang lebih pendek 15 cm dari kakak membuatku merasa luar biasa tidak berguna. Soalnya -ugh- mau bagaimana lagi, nyatanya ini sih aku yang dipeluk, bukan aku yang memeluk.
Hening merasuk di WC yang didiami oleh kami berdua semata. Satu-satunya kebisingan hanyalah dentingan detik di jam tanganku. Tak ada sepatah kata pun yang keluar. Aku bingung mau berkata apa. Aku hanya bisa mengelus punggung kakak, lembut. Perlahan, aku merasakan getaran kecil dan isakan mulai terdengar. Kakak mengeratkan pelukannya. Saat itu juga aku berharap aku membeku saja. Tidak hanya itu, aku bahkan menahan nafas. Aku tidak mau posisi berdiriku berubah, habisnya hal itu akan membuat kakak tidak nyaman. Sungguh, kalau aku bisa jadi penopang laranya, aku bersedia.
Gimme a Hug ~ Original picture was from here |
Hening merasuk di WC yang didiami oleh kami berdua semata. Satu-satunya kebisingan hanyalah dentingan detik di jam tanganku. Tak ada sepatah kata pun yang keluar. Aku bingung mau berkata apa. Aku hanya bisa mengelus punggung kakak, lembut. Perlahan, aku merasakan getaran kecil dan isakan mulai terdengar. Kakak mengeratkan pelukannya. Saat itu juga aku berharap aku membeku saja. Tidak hanya itu, aku bahkan menahan nafas. Aku tidak mau posisi berdiriku berubah, habisnya hal itu akan membuat kakak tidak nyaman. Sungguh, kalau aku bisa jadi penopang laranya, aku bersedia.
Pikiranku mendadak kosong. Tubuhku seakan melayang ribuan kilo dari tanah, terbang bersama kakak yang begitu dekat denganku. Derau nafas kakak menghembus pelan di telinga. Jujur, aku kehilangan akal. Lucu sekali, di saat seperti ini, memikirkan kata-kata mutiara saja aku tak sanggup. Mencari celah untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi juga tak mampu kulakukan. Saking cemasnya, dengan sepenuh jiwa, hatiku hanya terus berdoa, Ya Allah Ya Rabb berikanlah kebahagiaan untuk kakak. Aku nelangsa, jika bisa aku mau menukar ceriaku dengan derita yang kakak rasakan saat ini. Bulir-bulir bening yang keluar dari pelupuk matanya sangat membuatku gundah. Selama ini kakak selalu menampakkan wajah cerah di hadapanku.
Aku tidak tahu berapa lama waktu berjalan. Yang jelas, ribuan tahun pun rasanya tidak cukup banyak untuk menakarnya. Akhirnya, selang beberapa menit kemudian kakak melepaskan pelukannya. Kakak mengambil tisu dan mengusap kelopak matanya.
"Maaf, kakak menangis di hadapan Maya. Benar-benar cengeng ya?"
Lambat-lambat aku menggeleng dan tersenyum, "Tidak cengeng. Kakak, jangan cemas. InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Ada Allah. Kakak pasti bisa melewatinya. Allah tidak akan pernah meninggalkan kakak. Allah tahu apa yang terbaik untuk kakak. Saat ini, Allah mau kakak lebih mendekatkan diri pada-Nya. Kakak, perbanyaklah sujud di keheningan malam."
Aku tidak tahu berapa lama waktu berjalan. Yang jelas, ribuan tahun pun rasanya tidak cukup banyak untuk menakarnya. Akhirnya, selang beberapa menit kemudian kakak melepaskan pelukannya. Kakak mengambil tisu dan mengusap kelopak matanya.
"Maaf, kakak menangis di hadapan Maya. Benar-benar cengeng ya?"
Lambat-lambat aku menggeleng dan tersenyum, "Tidak cengeng. Kakak, jangan cemas. InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Ada Allah. Kakak pasti bisa melewatinya. Allah tidak akan pernah meninggalkan kakak. Allah tahu apa yang terbaik untuk kakak. Saat ini, Allah mau kakak lebih mendekatkan diri pada-Nya. Kakak, perbanyaklah sujud di keheningan malam."
Jantungku berdegup kencang melihat kakak sesenggukan lebih keras. Aku menggertakkan gigi sekuat tenaga, menahan tangis. Tiba-tiba saja aku tidak mau ikut menangis. Entah kenapa, setidaknya kali ini aku ingin tampil sebagai sosok yang kuat nan tegar. Kakak tersenyum merona lalu mengelus kepalaku.
Ketika kakak masuk ke kloset, tinggallah aku sendiri bergulat dengan pikiranku. Aku tidak bisa bohong dengan mengatakan aku tidak punya masalah atau tidak punya hal-hal yang sedang mengganggu pikiranku saat ini. Namun, tiba-tiba saja pelukan tadi mengurai semua keruwetan yang ada. Benar. Aku merasa bebas dan merdeka. Padahal tadi akulah yang seharusnya menerangi ruang hati yang gelap gulita tapi kok jadinya malah aku yang diberi cahaya semangat yang luar biasa...(?) Subhanallah!
Krek! Pintu kloset terbuka dan kakak keluar dari kloset. Mata kami beradu, suasana pun menjadi hangat. Kami lalu bersuka cita merapikan diri di depan cermin. Setelah tampak manis, kami bergegas keluar. Spontan, kakak menggenggam tanganku. Aku pun bergeming dan menatapnya lama. Kakak berseru cantik, "Ini rahasia ya."
Aku mengangguk. Kami pun segera menuju mushollah. Saat melewati ruang kuliah, kami hanya bisa melontar senyum sopan. Di tengah perjalanan, dengan satu tangan kakak merangkul bahuku dan berkata, "Terima kasih, Maya."
Aku terpukau. Tadinya kupikir hanya aku yang merasakan efek pelukan tadi. Hmm, aku menerka-nerka seberapa bebas perasaan kakak saat ini. Kuharap lebih besar dari apa yang kurasakan. Dunia ini unik sekali ya. Satu hal yang perlu diperhatikan. Jangan membawa beban dunia ini di pundakmu selama masih ada orang yang mau menerima sebagian beban itu, supaya kamu merasa sedikit lebih ringan. Bukankah itu yang namanya hidup berukhuwah?
Makassar, Maret 2012 Miladiyah.
Rabiul Akhir 1433 Hijriah.