Bismillaahirrahmaanirrahiim
JODOH DI UJUNG DUNIA
Kisah ini beranjak dari dua belas tahun yang lalu ketika umurku masih 15 tahun. Yeah, first grade on senior high school. Aku punya seorang sahabat sekaligus senior yang sudah seperti saudaraku sendiri. Namanya Amalia. Aku memanggilnya kak Ame. Kami berada dalam satu organisasi (pramuka, red) yang sama makanya keakraban itu mudah melekat. Kukatakan layaknya saudara sendiri karena aku sering mampir ke rumahnya bahkan tak segan untuk menginap.
Setahun berjalan, tak heran aku pun bisa akrab dengan keluarganya. Dan rupanya keakraban itupun menular ke orang tuaku dan orang tuanya. Keluargaku dan keluarganya sudah seperti satu keluarga besar. Karenanya saling mengunjungi kampung ketika lebaran sudah merupakan hal yang lumrah dilakukan, sampai-sampai para sepupu, om, tante, kakek dan neneknya pun tak ada yang terasa asing bagiku. Luar biasa. Hihihi.
Suatu ketika aku bertemu dengan dia. Seseorang yang menggetarkan hatiku. Pertemuan singkat itu terjadi di rumah kak Ame, setelah pulang dari kursus berenang. Namanya juga masih 16 tahun ya, masih ababil belia yang pas lihat cowok cakep langsung deh kelepek-kelepek. Hahaha. Eh, padahal hampir semua keluarga kak Ame aku ketahui tapi kok yang satu ini, mana keren lagi, bisa luput ya? Aku dengan berani bertanya ke kak Ame, “Siapa sih dia?”
“Sepupu satu kaliku, saudaranya Wanti.” jawab kak Ame ringan. Aku mengerutkan kening, mencoba membayangkan sosok Wanti. Hmm, ya aku tahu pasti siapa Wanti, berikut ibu bapaknya yang tinggal di Soppeng. Lalu entah keceplosan atau memang dorongan hati, lidahku seenaknya berseru, "Salam ya untuk dia."
Menjelang maghrib, aku pun pulang ke rumah. Jika mengingat kejadian tadi, aku langsung senyam-senyum malu sendiri. Firasatku mengatakan kak Ame telah menyampaikan salamku untuknya. Wah, apa yang bakal terjadi selanjutnya ya?
Kring...!! Kring...!!
Telepon rumah berdering. Aku bergegas mengangkatnya, “Assalamualaikum, halo!”
“Wa'alaikumussalam.” suara pria terdengar di ujung telepon.
“Cari siapa ya?” tanyaku kemudian.
“Bisa bicara dengan Dina?”
Eh, tenggorokanku tercekat. Siapa gerangan yang mencariku? Bingung pun menyerang. Seumur-umur aku tak pernah mendengar suara pria ini. Ya, suaranya tidak familiar di telinga. Ah, nanti juga aku tahu. Jadi kujawab, “Iya ini aku, Dina. Ada apa ya?”
“Enggak, cuma mau tanya. Apa benar Dina yang menitip salam untukku melalui Ame?”
What?! Er-rr, aku mohon jika ada lubang, cepat sembunyikan aku di sana! Waduh, wahai mukaku mulai detik ini entah mau ditaruh dimana engkau. Menutup malu, otomatis aku berseru, “Loh, kata siapa? Aku nggak nitip salam, tuh."
"Oh, iya. Aku mengerti. Terima kasih ya." tukasnya. Telepon pun ditutup.
Ya Allah, mana berani aku menjawab iya. Aku benar-benar ketangkap basah! Cuek, itulah solusi yang terpikir di kepalaku. Lagipula rasa-rasanya, aku nggak bakal ketemu dia lagi kok. Namun ketika usiaku genap 17 tahun, ketika aku mengundang kak Ame dan keluarganya untuk ke pantai, takdir mempertemukan kami kembali. Pertemuan kedua itu memberi sensasi yang menyegarkan. Dari situlah aku mengenalnya lebih dalam, Wanto namanya. Ngobrol dengannya sudah tak keteteran dan percikan di hati pun sudah mulai menyala.
Setelah lulus SMA, orang tuaku mulai cemas ketika putrinya memiliki teman lelaki. Ya, tidak ada istilah pacaran dalam kamus keluargaku. Akhirnya bapak berinisiatif, “Minta pemuda itu datang ke rumah, kalau perlu orang tuanya juga datang.”
Aku pun meminta ibunya Wanto untuk datang ke rumah. Saat para orang tua bertemu, aku pikir masih sekadar bicara ngalor-ngilur, eh nggak tahunya, sebuah lamaran! Sayang, mama tidak setuju. Mama pikir aku masih muda, sementara kuliah dan perjalanan hidup masih panjang. Lamaran ditolak.
Berselang beberapa bulan, akhirnya lamaran kedua datang lagi. Sayang beribu sayang, dengan gigihnya Mama tetap menolak lamaran itu. Ternyata eh ternyata mama kepengen aku dijodohkan dengan saudara laki-laki kak Ame, bukan sepupunya. Wah tapi gimana ya, aku hanya bisa bilang, "Saudara laki-laki kak Ame sudah seperti kakak sendiri. Tak ada rasa cinta setitik pun untuknya. Aku tidak bisa menikah dengannya. Maaf.”
Bulan berlanjut, tetap dengan semangat juang, Wanto memberanikan diri untuk melamar sendiri tanpa ditemani orang tuanya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, akhirnya Mama setuju. Alhamdulillah tepat tanggal 19 Oktober 2003, pernikahan pun berlangsung dengan penuh hikmat. Dengan umur 18 tahun yang terbilang masih sangat-sangat muda, aku menapaki bahtera rumah tangga. Masya Allah! Tak ada perasaan takut sedikit pun untuk mulai membina sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Saat itu aku malah merasa senang, haru dan berucap syukur, "Terima kasih ya Allah, ternyata dia adalah jodohku di ujung dunia."
Sekarang sudah hampir masuk tahun ke sembilan masa pernikahan kami. Tabaarakallahu Ta'ala, masih dengan rasa cinta dan sayang yang sama bahkan Insya Allah tiap tahun semakin bertambah. Tertanggal 05 April 2005, lahirlah seorang putri yang cantik. Kuberi dia nama, Nabilah Az Zahra. Alhamdulillah Yaa Rabb, Engkau telah menyempurnakan diriku sebagai seorang wanita dengan memberikan anak yang cerdas dan sholehah serta suami yang senantiasa menemaniku dalam sakit maupun sehat.
Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana tips menjaga hubungan pernikahan?” Dengan renungan yang panjang, aku menjawab, “Menjalani kehidupan rumah tangga itu tidaklah mudah. Kadang senang, kadang sedih, kadang mulus dan kadang terbentur kerikil. Yang paling penting dari pernikahan adalah bagaimana menyikapi segala problema yang muncul dengan mengedepankan sikap saling mengerti dan menghargai.”
Lucunya, banyak orang yang spontan berucap bahwa aku memiliki mata yang serupa dengan suamiku. Katanya, wajah kami bagai pinang dibelah dua. Kalau kata orang Bugis sih, alosi ri polo dua. Bahkan beberapa di antaranya beranggapan suamiku itu saudaraku alias anaknya bapak. Loh? Hahaha. Kami berdua pasti merespon dengan tawa ketika pernyataan-pernyataan seperti itu muncul. Soalnya seseorang memang akan bertemu dengan jodoh yang wajahnya serupa. Walau di awal pernikahan wajah kedua mempelai tidak mirip, seiring dengan perjalanan waktu, wajah keduanya pasti akan mirip. Tidak percaya? Buktikan sendiri, hehehe.
Tulisan ini kupersembahkan untuk pasangan jiwaku dan untuk seluruh wanita yang sedang atau akan melangsungkan pernikahan. Yakin dan percayalah bahwa dia (sang calon suami) merupakan jodohmu di ujung dunia. Seperti kata pepatah bugis, idi’ni toto’ku lettu cappana ri lino alias engkaulah jodohku sampai ujung dunia. Insya Allah. Aamiin.
----------------
BIODATA PENULIS
----------------
Dina Desriany adalah seorang ibu satu anak yang berdomisili di kota Anging Mammiri, Makassar. Kesibukannya sehari-hari adalah sebagai seorang istri teruntuk suami tercinta, sebagai abdi negara yang mengajar di salah satu universitas swasta, sebagai mahasiswi pascasarjana Universitas Hasanuddin. Saat ini tergabung dalam forum layanan ipteks bagi masyarakat bernama FLipMAS Anging Mammiri di bawah naungan Pendidikan Tinggi (DIKTI). Tujuan hidupnya adalah
wanna be a beneficial person for many people especially for her lovely family. Untuk mengenal pribadinya lebih lanjut, silakan mengunjungi blognya
My Precious Life yang beralamat di
http://deenayla.blogspot.com/. Mau bertanya kepada penulis? Boleh mengirim email ke alamat
deenayla_cest@yahoo.com.