Bismillaahirrahmaanirrahiim
Give a girl the right shoes and she can conquer the world. Because shoes are like friends, they can support you, or take you down. Well, Cinderella proof that a new pair of shoes can change the whole things in her life! So please before you judge me, walk a mile on my shoes!
Sepatu. Tak kusangka satu kata itu bisa membuatku amburadul pagi ini. Lantaran sol sepatuku jebol di tengah jalan, aku harus menyeret kakiku di antara kerikil. Oh ya Allah, aku tahu percuma memaki sepatu. Akulah yang salah. Toh kemarin aku sendiri yang menghambur di antara hujan, tak peduli sepatu dan kaus kaki ikut terendam air. Riwayat satu-satunya sepatu yang kubawa dari kampung halaman pun berakhir sudah. Sekarang aku harus memikirkan cara, bagaimana mendapatkan sepatu as soon as possible...(?!)
Alhasil aku meminta Mbak Yanti -roommate yang kebetulan belum berangkat ke kampus- untuk membawakan sepatu indoor (sepatu yang dipakai di dalam ruangan atau rumah, red). Alhamdulillah ala kulli haal, akhirnya kakiku terbungkus sepatu jua. Hanya saja, aku bener-bener nggak nyaman. Kebayang nggak, beraktivitas di laboratorium, kelas dan area kampus lainnya dengan menggunakan sepatu indoor? Aku merasa seperti nggak tahu sopan santun, nggak kenal adat dan yang lebih buruk lagi, aku merasa bodoh. Walau ada yang bilang bodoh itu cinta, kali ini sama sekali nggak berlaku deh. Sungguh! Huhuhu.
Besoknya, teman-teman dari Indonesia berencana shopping. Aku langsung mau ikut, siapa tahu bisa beli sepatu baru. Weks, setibanya di toko, aku baru sadar ternyata harga sepatu mahal ya? Rata-rata 3000 yen ke atas alias sekitar Rp375.000-an ke atas. Aku merasa sangat sayang untuk membeli sepatu dengan harga segitu. Mana semuanya high heels lagi. Dimana-mana boots, dimana-mana wedges, dimana-mana pantofel. Ugh, dilema kelas atas. Ada juga sih sepatu kets tapi seriusan nih, aku bukan tipe pengguna kets. Terlebih lagi harganya tuh dua kali lipatnya loh. Olala, aku pulang dengan tangan kosong.
Di stasiun kereta, tiba-tiba saja pandangan mataku tertumpu pada sepasang sepatu yang dipajang di etalase toko. Modelnya sederhana, merona coklat dan terlihat manis. Mbak Idha -seorang kakak yang lembut dan baik hati- menyarankan untuk membelinya, apalagi harganya hanya 1990 yen. Aku terdiam, memelototi hak sepatu setinggi 3 sentimeter itu. Dalam dunia high heels, 3 sentimeter adalah standar terbawah. Aku meragu, akankah aku bisa menaklukkan dunia dengan sepatu ini? Dengan kata lain, nyaman nggak ya?
Ctak! Aw, sepagi ini aku sudah keseleo karena high heels yang kubeli kemarin. Ya Allah. Me versus high heels. Ciyus? Miapah! High heels kebangetan, masa siang harinya aku sudah merasa ada yang tidak beres dengan kelingking kaki kananku. Saat kuperiksa, lepuhan cukup besar mencuat di sana. Amat sangat tidak anggun, aku pun berjalan dalam keadaan pincang. Parahnya, aku merasa lepuhan demi lepuhan merayap di jari-jariku yang lain. Tak ketinggalan tumit dan area di bawah mata kaki. Aku meringis, pedis sekali.
Esok hari, kondisi kakiku semakin buruk. Aku pengen membungkus tiap lecet pada kakiku dengan band-aid. Sayang, aku tak punya. Ditambah otot paha dan betis yang kejang lagi kaku. Aku benar-benar seperti mayat hidup yang hanya bisa berharap sakitnya berkurang setelah kurendam air hangat semalaman. Jadi jangan tanya bagaimana gaya berjalanku ke kampus. Aku kapok! Namun syukur Alhamdulillah, hari ini aku punya jadwal bermain dodge ball bersama anak-anak SD Chiba kelas enam. Dengan begitu aku bisa melepas high heels itu sejenak dua jenak.
Seharian aku terus memikirkan cara mendapatkan sepatu baru lagi. Well, aku mengibarkan bendera putih. Hiks, menyedihkan. Aku kalah dengan high heels level terendah. Biarin deh, soalnya aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku besok jika aku tetap bertahan dengan high heels itu. Ketika keluh-kesahku sampai pada Yani -sahabat berakhlak ayu yang baru kukenal- dia bersedia membawaku ke supermarket dekat kampus. Katanya di situ ada sepatu murah walau modelnya tak terjamin. Jujur aku sudah nggak mikir model, beneran deh. Pokoknya sepatu tanpa hak, aku mohon.
Ctak! Aw, sepagi ini aku sudah keseleo karena high heels yang kubeli kemarin. Ya Allah. Me versus high heels. Ciyus? Miapah! High heels kebangetan, masa siang harinya aku sudah merasa ada yang tidak beres dengan kelingking kaki kananku. Saat kuperiksa, lepuhan cukup besar mencuat di sana. Amat sangat tidak anggun, aku pun berjalan dalam keadaan pincang. Parahnya, aku merasa lepuhan demi lepuhan merayap di jari-jariku yang lain. Tak ketinggalan tumit dan area di bawah mata kaki. Aku meringis, pedis sekali.
Esok hari, kondisi kakiku semakin buruk. Aku pengen membungkus tiap lecet pada kakiku dengan band-aid. Sayang, aku tak punya. Ditambah otot paha dan betis yang kejang lagi kaku. Aku benar-benar seperti mayat hidup yang hanya bisa berharap sakitnya berkurang setelah kurendam air hangat semalaman. Jadi jangan tanya bagaimana gaya berjalanku ke kampus. Aku kapok! Namun syukur Alhamdulillah, hari ini aku punya jadwal bermain dodge ball bersama anak-anak SD Chiba kelas enam. Dengan begitu aku bisa melepas high heels itu sejenak dua jenak.
Seharian aku terus memikirkan cara mendapatkan sepatu baru lagi. Well, aku mengibarkan bendera putih. Hiks, menyedihkan. Aku kalah dengan high heels level terendah. Biarin deh, soalnya aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku besok jika aku tetap bertahan dengan high heels itu. Ketika keluh-kesahku sampai pada Yani -sahabat berakhlak ayu yang baru kukenal- dia bersedia membawaku ke supermarket dekat kampus. Katanya di situ ada sepatu murah walau modelnya tak terjamin. Jujur aku sudah nggak mikir model, beneran deh. Pokoknya sepatu tanpa hak, aku mohon.
Flat shoes. Akhirnya kumenemukanmu. Dengan harga 990 yen, sepatu tanpa hak itu bercokol di kakiku. Uhm, masih tersisa beribu rasa nyeri di sana, sebagai bukti kemenangan high heels atas diriku. Tak luput, aku sekalian membeli band-aid lalu menutupi tiap lecet satu per satu. Ya Allah Ya Rabb, kakiku bener-bener kehilangan pesonanya. Aku melirik cewek-cewek Jepang yang dengan santai berjalan ke sana ke mari menggunakan high heels. Baik muda maupun tua umumnya menggunakan sepatu berhak 5, 7, 10 bahkan 15 sentimeter. Phew, memangnya nggak sakit apa?
"Rasa sakit itu nyata adanya. Akan tetapi cewek-cewek Jepang mampu menahan rasa sakit itu demi sebuah gengsi dan kesan. Bagi mereka, penampilan adalah nomor satu." tutur seorang kawan yang telah lama hidup di Jepang dan pernah melihat langsung band-aid yang menyokong kaki cewek-cewek Jepang. Bahkan ada yang menggunakan pad alias bantalan di dalam sepatunya. Oh fine, ternyata lecet yang kualami belum ada apa-apanya. What a day!
Faktanya, aku memang lebih suka flat shoes dibanding high heels. Tapi sedikitnya high heels sudah mengubah satu senti kehidupanku. Aku menjadi lebih bijak. Kalau kata pepatah sepatu sih, "Kau tak akan tahu beratnya kehidupan seseorang, sampai kau berjalan ribuan mil dengan sepatunya!" Arti tersiratnya tuh jangan karena si A melakukan suatu hal yang tidak benar, tuduhan miring terhadapnya sudah diedarkan kemana-mana. Sungguh ironis, padahal si penuduh tidak pernah tahu episode hidup apa yang telah dilalui oleh si A sehingga berbuat demikian. Pokoknya nggak boleh sembarangan menuduh! Nah, kira-kira seperti itulah hikmah yang bisa ditarik dari sebuah sepatu.
Ehem, sepekan ini aku jadi tahu perasaan tersiksa yang dipendam dalam sebuah sepatu. Plus pada akhirnya aku pun sudah bisa menggunakan high heels tersebut dengan anggun. Dengan anggun? Hahaha, yang benar saja. Gyaboo! Kesimpulannya, kalau sang pangeran sudah siap dengan undangan pesta dansanya, Cinderella pun sudah siap beraksi dengan sepatu kacanya. It's perfect, isn't it? ^^
"Rasa sakit itu nyata adanya. Akan tetapi cewek-cewek Jepang mampu menahan rasa sakit itu demi sebuah gengsi dan kesan. Bagi mereka, penampilan adalah nomor satu." tutur seorang kawan yang telah lama hidup di Jepang dan pernah melihat langsung band-aid yang menyokong kaki cewek-cewek Jepang. Bahkan ada yang menggunakan pad alias bantalan di dalam sepatunya. Oh fine, ternyata lecet yang kualami belum ada apa-apanya. What a day!
Faktanya, aku memang lebih suka flat shoes dibanding high heels. Tapi sedikitnya high heels sudah mengubah satu senti kehidupanku. Aku menjadi lebih bijak. Kalau kata pepatah sepatu sih, "Kau tak akan tahu beratnya kehidupan seseorang, sampai kau berjalan ribuan mil dengan sepatunya!" Arti tersiratnya tuh jangan karena si A melakukan suatu hal yang tidak benar, tuduhan miring terhadapnya sudah diedarkan kemana-mana. Sungguh ironis, padahal si penuduh tidak pernah tahu episode hidup apa yang telah dilalui oleh si A sehingga berbuat demikian. Pokoknya nggak boleh sembarangan menuduh! Nah, kira-kira seperti itulah hikmah yang bisa ditarik dari sebuah sepatu.
Ehem, sepekan ini aku jadi tahu perasaan tersiksa yang dipendam dalam sebuah sepatu. Plus pada akhirnya aku pun sudah bisa menggunakan high heels tersebut dengan anggun. Dengan anggun? Hahaha, yang benar saja. Gyaboo! Kesimpulannya, kalau sang pangeran sudah siap dengan undangan pesta dansanya, Cinderella pun sudah siap beraksi dengan sepatu kacanya. It's perfect, isn't it? ^^
Kokusai-koryu-kaikan, dalam balutan band-aid
31 Oktober 2012 Miladiyah
15 Dzulhijjah 1433 Hijriyah
31 Oktober 2012 Miladiyah
15 Dzulhijjah 1433 Hijriyah