Raga Boleh Maya Tapi

Bismillah

Malam itu hening tanpa bintang. Aku merasa bulan yang membundar sempurna di langit tengah menatapku, menembus atap dan menghempas plafon kamarku dengan guguran dedaunan. Ada segurat rasa yang tertinggal, daun cinta memenuhi pikiranku.

Aku melihat dirimu tengah sesak diselimuti aura kelam. Tiba-tiba saja kau terduduk sepi, meminta izin untuk pergi ke suatu tempat. Aku tak mengerti, bukankah aku sudah menemukanmu....(?) Mengapa hendak pergi lagi?

Ingin Kemana?
Aku ingin pergi ke masa sedetik sebelum pertemuan pertama kita. Ketika itu, aku akan mengambil langkah berbeda sehingga tidak akan bertemu denganmu dan saat ini -detik ini- kita akan menjadi orang asing satu sama lain. Akan lebih baik jika kita tidak pernah saling kenal sebelumnya.

Aku tidak mau mengakuinya tapi mendengar kalimatmu, rasa haru mendera begitu cepat. Aku menangis sampai semua air yang ada di dalam tubuhku seolah keluar. Aku tahu -di ujung sana- kau pun melakukan hal yang sama, menangis.

Esoknya, kau meminta maaf untuk semua kata yang telah melukaiku. Kau menarik kalimatmu bahkan memintaku menghapusnya dari memoriku. Terluka? Aku tersenyum lembut, aku tidak terluka. Apa kau tahu? Kalimatmu itu benar-benar menandakan kau tidak ingin melepaskan genggaman tanganku. Tidak ingin menyimpan kata perpisahan dalam takdir kita. Aku menangis bukan karena terluka melainkan karena merasa bersalah, ternyata cahayaku tidak cukup hangat untuk menopang dan menguatkanmu. Kau merengut protes -tidak setuju- atas ucapanku. Lalu tiba-tiba kau bertanya.

Apa kau sayang padaku?
Iya.
Aku sangat menyayangimu.
Lebih.
Lebih lebih lebih, aku menang. Kau tak bisa mengalahkan kasih sayangku padamu.
Hahahahahahahaha.

Ups, sebenarnya apa yang ada di pikiranmu sih? Mendadak saja mengubah tangisku menjadi tawa, sangat tidak jelas. Eh, aku juga ingin meminta izinmu untuk pergi ke suatu tempat. Ada suatu tempat yang ingin kutuju. Sejak lama, aku ingin mencoba masuk dan mendekam di sana. Bolehkah?

Ingin Kemana?
Aku ingin ke hatimu.

Kau terdiam, mengerutkan kening lalu menggeleng perlahan. Aku menanti responmu tetapi kau malah memunggungiku. Di saat aku hendak bicara lagi, kau berseru lantang bahwa diriku sudah ada di sana sejak lama. Deg! Aku terhenyak. Rasanya jadi ingin memukul kepalamu, kalau begitu lalu apa yang kau takutkan? 

Memang, kita tidak akan bisa selamanya seperti ini. Pelangi akan pergi setelah tersapu cahaya mentari. Cahaya akan memudar di balik awan. Awan putih akan berarak ketika tertiup angin lembut. Angin akan menghempas berhamburan di langit. Cakrawala langit biru akan membias oranye kala bunga matahari menatapnya. Bunga matahari akan menguncup jika tanah bergeser. Embun pagi akan jatuh ke bumi setelah daun berguncang. Dan daun-daun pun akan berguguran dari pohonnya.

Fairy Light ~ Original Picture was from here

Itu fakta. Namun, jika boleh, aku ingin kau mempercayaiku. Kukatakan, raga boleh maya tapi jiwa akan selalu nyata. Iya, cahaya itu nyata. Karenanya, kebahagiaan akan tetap selalu ada. Tak akan ada yang berubah, insyaAllah. Yang terpenting, kita harus menikmati masa-masa sekarang. Apa yang terjadi di masa yang akan datang, tak ada seorang pun yang bisa menduga. Bila aku tidak di sisimu lagi, tidak jadi soal bahkan hal itu tidak akan menenggelamkanmu ke lubang hitam itu lagi. Kau tidak sendirian. Kau akan selalu punya cahaya. Cahaya dariku dan dari orang-orang yang mencintaimu karena Allah Ta'ala.

Ehem... Aku jadi ingin ke suatu tempat lagi. Maukah kau ikut bersamaku?

Ingin Kemana?
Aku hanya ingin ke bangunan hijau tanpa pintu yang berjarak 10 meter dari rumahku itu, duduk melingkar bersama dengan wajah ceria dari orang-orang yang kusayangi karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, memeriahkan taman-taman syurga di dunia.