Bismillah
"Hari ini mungkin terakhir kalinya kita melihat Kak Fash. Beliau akan meninggalkan kota Makassar, menemani sang suami yang akan berdakwah di pelosok pulau Sumatera. Mau ikut mengantar?"
Pagi-pagi buta, sms dari Akhwat Pejuang itu mematri rasa sendu di hatiku. Sedikit tidak percaya, aku membeku di tempat. Kak Fash akan pergi...(?)
Waktu Dhuha, aku bergelut dengan cemas di dalam kelas perkuliahan. Separuh jiwaku memohon agar materinya cepat usai. Sedang separuh jiwa yang lain tetap mengamati proses pengkodean sebuah data biner yang dipaparkan oleh dosen. Aku melirik jam tanganku, aku sudah mengatakan pada Akhwat Pejuang ingin turut mengantar bersama Fatih. Pesawat boarding pukul 14.00 WITA dan itu berarti setidaknya pukul 13.00 WITA kami sudah harus berada di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar.
Waktu Dhuhur, perkuliahan selesai. Aku tergesa-gesa pamit pada teman-teman sekelas lalu menuju mushalla di koridor teknik, menunaikan shalat Dhuhur. Aku bertemu dengan akhwat yang pipinya memerah jika tersipu malu. Sebut saja, Humairah. Ternyata dia juga ingin mengantar dengan beberapa akhwat yang berkumpul di sekret. Aku berseru, "Aku dan Akhwat Pejuang juga akan pergi. Kenapa tidak ikut dengan kami saja?"
Humairah mencubitku gemas, "Ya Allah, kenapa baru mengatakannya sekarang? Kalau begitu, aku tidak perlu ke sekret lagi." Aku terkikik, "Ayo berangkat!" Humairah menahan lenganku. Aku meminta penjelasan. "Akhwat sms, ternyata pesawatnya boarding pukul 15.00 WITA. Jadi kita masih punya beberapa menit lagi."
Aku membuang nafas, lega. Sekarang kami tinggal menunggu kedatangan Akhwat Pejuang lalu tancap gas ke bandara. Pukul 14.00 WITA Akhwat Pejuang datang dengan nafas memburu. Aku dan Humairah terheran. Ada apa? Akhwat Pejuang berucap, "Kak Fash sudah check in dari tadi. Pukul 15.00 WITA itu waktu take off pesawat, bukan waktu boarding! Kita harus cepat jika mau bertemu dengan kakak."
Kami bertiga berlari kecil ke parkiran. Akhwat pejuang menepuk bahuku, "Untuk kali ini, perlihatkan kemampuan balapmu." Dadaku berdegup sangat kencang. Ya Allah Ya Rabb, jemariku bergetar memegang kemudi. Fatih, aku percaya padamu. Bawa kami secepat yang kau bisa. Terbanglah!
Fatih melaju di atas 80 km/jam. Bunyi klakson bercampur dengan deru mesin. Aku hanya bisa melontar senyum melihat kepanikan Humairah ketika sesekali jarak Fatih dengan kendaraan lain begitu dekat. Akhwat Pejuang dengan tenang memberi aba-aba dan navigasi sehingga aku tidak kehilangan fokus. Beberapa menit kemudian, aku sadar di belakang Fatih ada sebuah Avanza merah yang meraung lebih ugal-ugalan dibanding Fatih. Humairah memintaku memberi jalan pada Avanza merah itu.
"Jangan-jangan dia juga mau mengejar pesawat?" tanyaku. Tak perlu waktu lama, Avanza merah itu menjawab. Dia benar-benar menukik dan melaju secepat kilat. Aku berusaha mengikuti jalurnya dari belakang. MasyaAllah, dia benar-benar pembuka jalan yang hebat! Akhwat Pejuang mengamati, "Lihat, begitu menyenangkannya jika berjalan beriringan untuk mencapai satu tujuan. Dalam hidup ini, visi yang sama menjadi hal yang utama agar kita bisa tetap bertahan dan berjuang bersama. Saat ini, kita tidak hanya mengejar pesawat. Lebih dari itu, mengejar kebahagiaan."
Aku tertegun, mengiyakan. Semburat malu muncul ketika pikiranku tiba-tiba tersesat ke arah pernikahan. Memang akan sulit jika dua orang yang memiliki tujuan berbeda, hidup berdampingan dalam satu atap. Pikiranku kembali fokus ke jalanan saat memasuki kawasan bandara. Avanza merah itu melaju dua kali lipat dengan tidak adanya kendaraan yang menghalangi. Akhwat Pejuang terperangah, "Mana kecepatanmu, May? Avanza merah itu tidak lagi terlihat di sepanjang mata."
Aku memekik, "Ya Allah, ini sudah di atas 110 km/jam." Humairah memegang sandaran kursi ketika Fatih berbelok ganas di tikungan, "Pelankan sedikit, perutku mual dan rasanya aku ingin muntah. Uhukk!" Aku mempertahankan kecepatan, "Maaf. Maaf. Bertahanlah, beberapa meter lagi kita sampai."
Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Kami tiba di parkiran bandara. Fatih, you're awesome! Pukul 14.30 WITA kami buru-buru ke pelataran. Aku kebingungan mencari tempat keberangkatan. Akhwat Pejuang meledekku yang tersasar padahal sering ke bandara. Aku membela diri, "Pergi ke bandara sebagai pengemudi dan penumpang itu jelas beda." Humairah tertawa lalu menunjuk suatu arah, sepertinya itu arah yang benar menuju terminal keberangkatan.
Lucunya, saat aku berlari bersama Humairah, aku baru menyadari kalau pakaian Humairah sama persis dengan pakaian yang kukenakan. Akhwat pejuang yang berlari di belakang kami berkata kalau kami seperti saudara kembar. Aku tertawa hingga nafasku tercekat lebih cepat. Setiba di terminal keberangkatan, aku masih tersenyum geli. Humairah berujar bahwa orang-orang memasang mata padaku. Aku berdehem, "Kenapa? Aku begitu cantik ya?" Langsung saja Humairah mengetuk kepalaku. Aw, aku menunduk, menahan tawa. Setelah mengatur nafas, mataku beredar mencari sosok Kak Fash. Nihil. Tidak berhasilkah aksi pengejaran kami?
Tahu tidak, mengapa orang-orang suka mengeja kebahagiaan dengan kata mengejar? Aku bingung, apa itu karena orang-orang tahu bahwa kebahagiaan adalah suatu hal yang hanya bisa dikejar dan bukan suatu hal yang bisa diperoleh? Seberapa keras pun kau mengejarnya, kebahagiaan itu akan selalu meninggalkanmu. Benarkah begitu?
Aku melihat raut kecewa di wajah Akhwat Pejuang dan Humairah. Seorang ibu paruh baya mendatangi kami dan mengatakan bahwa Kak Fash akan keluar menemui kami setelah selesai menimbang bagasi. Mengenali bahwa ibu paruh baya itu adalah ibunda kak Fash, seketika wajahku melukis senyuman haru, syukurlah. Beberapa menit kemudian, akhwat yang berkumpul dari sekret pun tiba di bandara. Bersamaan dengan itu, terlihatlah sosok mungil nan manis yang kami nantikan. Kak Fash memperlihatkan wajah berseri-seri yang membuat akhwat semakin trenyuh karenanya. Kak Fash pun memberi wejangan singkat dan memeluk kami satu per satu.
Pukul 15.00 WITA, kami melepas kepergian kak Fash. Aku terus memandangi punggung seorang kakak yang selama ini menyokongku ketika aku terjatuh, seorang kakak yang menggenggam erat tanganku tanpa pernah mau melepaskannya apapun yang terjadi, seorang kakak yang menyemangatiku agar selalu bertahan dan memberikan yang terbaik untuk ummat, seorang kakak yang di saat terakhir berbisik lembut padaku bahwa dia begitu bangga pernah memiliki aku sebagai anggota timnya.
Air mataku meleleh. Sosok itu telah tertelan pintu kaca. Entah kapan bisa bertemu lagi. Satu tahun? Tiga tahun? Hem, semoga lebih cepat dari itu. Selamat jalan, Kak Fash. Keep on fighting till the end! InsyaAllah kakak bisa, lagipula kakak memiliki pasangan hidup dengan impian yang sama. Kupikir, itu saja sudah cukup untuk mengejar kebahagiaan.
Menurutku, kata mengejar yang disematkan pada kebahagiaan itu berarti menginginkan dengan sungguh-sungguh. Tidak bisa menangkap kebahagiaan? Yang benar saja. Kebahagiaan itu sederhana, tercipta dalam bentuk rasa senang dan atau rasa puas.
Kejarlah kebahagiaan. Jika kau mendapatkannya, rasa senang akan memenuhi hati. Sebaliknya, hanya karena kau tidak mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan berarti kau tidak mendapatkan kebahagiaan. Bukankah begitu? Tanpa disadari, kebahagiaan itu tetap ada walau sekalipun terbungkus kesedihan yang begitu dalam. Ya, satu senti kebahagiaan. Untuk merasakannya, rasa syukur atas setiap nikmat yang diperoleh haruslah tertanam di hati. Aku tahu, rasa puas itu tak akan mampu menimbun segala kemauan bani Adam. Namun setidaknya, ketika kau merasa cukup akan sesuatu, itu akan lebih bahagia. Percayalah!
Seperti hari ini -jujur saja- di hatiku terbuka sebuah lubang duka. Melihat kepergian seseorang yang disayangi itu begitu berat. Akan tetapi aku tetap bisa merasakan suka. Aku bersyukur masih bisa mengantar dirinya. Aku senang bisa melawan rasa takut untuk mengemudi di atas kecepatan rata-rata dan itu untuk dirinya. Subhanallah!
It was right then I started thinking about
Thomas Jefferson on the Declaration of Independence
and the part about our right to life, liberty, and the pursuit of happiness.
And I remember thinking how did he know to put the pursuit part in there?
That maybe happiness is something that we can only pursue and maybe
we can actually never have it. No matter what. How did he know that?
__________________The Pursuit of Happyness____________________