Bismilah
"Oi, pasti kamu pelakunya!"
Aku tertawa lepas, "Kamu ini ada-ada saja! Tidak takut dimarahi? Ayo pulang!"
Sepuluh tahun lalu, aku menganggap diriku lebih dewasa dari siapapun. Aku mampu memecahkan soal persamaan trigonometri, piawai menulis kosakata dalam Bahasa Inggris, tahu bahwa kilat lebih dulu terlihat dibanding terdengarnya guruh karena kecepatan cahaya 882.352,9412 kali kecepatan bunyi. Aku beranggapan bahwa tak ada hal yang tak kuketahui. Kehidupan yang benar-benar membosankan.
"Oi, pasti kamu pelakunya!"
Aku menengadahkan wajah dari buku di tanganku. Sebelum sempat merespon, teman-teman sekelas sudah terlebih dahulu menjadikanku titik pusat kerumunan. Beberapa anak perempuan menangis sesenggukan. Aku mengernyit, "Apa sih?"
"Perhiasan milik anak-anak perempuan yang diletakkan di atas meja -hilang- sewaktu jam pelajaran olahraga. Orang pertama yang kembali ke kelas, kamu kan?"
Setengah cuek aku menjawab, "Salah! Bukan aku pencurinya!" Aku memalingkan wajah, tiba-tiba kerah seragamku ditarik ke atas. Bukk!! Bukan, itu bukan suara bogem mentah melainkan bunyi sapu yang dipukulkan ke meja. Dia -yang mengheningkan situasi dengan sapu- mendesak maju ke dalam kerumunan, "Apa-apaan ini? Kenapa malah mencurigai teman sendiri?!"
"Lalu siapa yang mengambilnya?" Satu suara muncul, tidak terima.
"Akan kutemukan...!! Aku akan menemukan pencuri sebenarnya!"
"Kalau nggak ketemu, kamu akan dibotaki loh!" Suara lain muncul dari kerumunan.
"Nah, kalau ketemu? Siapkan permintaan maaf super spesial dari kalian!"
Aku memandang dia yang kini mengembangkan senyum. Itulah pertama kali otakku merekam tentang dirimu. Kau membuat huruf V dengan jari tengah dan telunjuk. Victory, huh? Aku tidak habis pikir, urusan orang lain biarkan saja kenapa? Anak aneh.
Tak tahunya di rumah ada kejadian yang membuatku lebih gusar. Tepat pukul 8 malam teleponku terus berdering menanyakan hal yang sama, keberadaanmu. Jelas saja aku tidak tahu apa yang sedang kau lakukan di luar sana. Ini benar-benar tidak ada hubungannya denganku. Eh, tunggu. Jangan-jangan kau...(?) Masa sih?
Aku berlari menyusuri koridor sekolah. Aku membuka pintu kelas dengan tergesa. Kosong, ruang kelas itu hanya berpenghunikan bayangan rembulan. Sedikit lega. Eh? Sesuatu melompat keluar dari arah meja guru. Trak! Trak! Gedubrak!
"M-a-l-i-n-g-!"
Matamu terantuk di mataku. "Loh, kamu?" Kau terkekeh. Aku masih mengatur nafas, kaget. Aku memicingkan mata, "Sulit dipercaya. Jadi kau mendekam di sini?"
Kau cemberut, "Kenapa? Pencurinya pasti datang! Lihat, aku meletakkan perhiasanku di atas meja sebagai jebakan." Aku menghela napas, "Yang benar saja, kenapa bertindak begitu gegabah? Lagipula ini urusan orang lain."
"Orang lain?"
"Nggak pernah baca kamus ya? Orang lain, (1) orang yang bukan saudara, (2) orang yang tidak ada hubungannya, (3) orang selain diri sendiri."
"Kamu ini ngomong apaan sih? Ehem, tadi pagi kamu bilang bukan pelakunya kan? Makanya aku ingin menemukan kebenarannya. Karena aku percaya padamu." Deg! Jantungku berdegup kencang. Ada apa denganku?
Trang! Srak! Srak! Sesuatu muncul dari balik jendela dan mendekati meja yang diletakkan perhiasan di atasnya. Sigap, kau melompat dan mengacungkan sapu. Koaaak! Koaakk! Eh, gagak?
Aku berseru, "Tak heran, gagak memang punya kebiasaan mengumpulkan benda yang berkilau." Kau mengangguk pelan lalu mengejar gagak yang terbang ke sebuah pohon. Tanpa aba-aba, kau memanjat. Aku mengikutimu dari belakang. Semenit kemudian kau menemukan sarang gagak tersebut, "Uwaaaa! Lihat ini, isi sarangnya malah benda berkilau semua. Perhiasan teman-teman juga ada! Tuh kan, bukan kamu pelakunya. Syukurlah aku tidak jadi dibotak."
Hello Dear! (c) Enakei |
Kau menatapku, "Mama pernah bilang, saat pertama kali melihat atau mengetahui sesuatu, saat itu sangat berharga. Dimarahi sekalipun aku tidak peduli, karena hari ini aku bisa melihat tawamu untuk yang pertama kalinya."
Deg! Sepertinya aku demam. Mendadak aku merasakan panas di wajahku. Aku menutup mata tetapi rasanya tenggorokanku semakin tercekat dengan nafas yang memburu. Aku lalu membuka mata lebar-lebar dan mengalihkan pandang ke langit. Whoaa! Bintang bertaburan dengan sangat indahnya. Seakan tanganku mampu menggapainya. Aku tercengang. Aku tidak tahu kalau langit malam begitu memesona.
Apa kau tahu? Karena dirimu, kehidupanku menjadi sedikit lebih menarik. Tadinya kupikir tak ada yang tak kuketahui di dunia ini. Ternyata, masih banyak sekali yang belum kuketahui. Alhasil egoku runtuh ketika menyadari fakta bahwa di bumi ini ada yang namanya bodoh. Dan aku menjadi bagian dari ketidaktahuan yang akhirnya menemukan hal-hal baru di setiap waktu. Iya, masih banyak hal menyenangkan yang belum kuketahui. Mengejutkan. Debaran tak tertahankan, rindu yang menggelisahkan, bahkan perasaan ini juga, semua kau yang mengajari.
---------------------------
Juunikyuu de Tsukamaete
The first case of us
(c) NA 2001