Bismillah
It's Supermoon on The Top of My Home |
Malam itu peri cahaya mendapat panggilan ke istana langit. Tanpa pikir panjang, dia segera menemui peri langit. Gyut! Dekapan erat serta merta menyambut kedatangannya. Sedikit gemas, peri langit mencubit pipinya, "Kau tidak apa-apa?"
Peri cahaya mengangkat alis, "Memangnya aku kenapa?" Terbata-bata, peri langit menjawab, "Tidakkah pernikahan peri bumi dan gadis bunga mengagetkanmu? Jangan disembunyikan, kau dan gadis bunga berteman akrab, kan? Dan oh-hh, aku tidak menyangka, kau menghadiri resepsi pernikahan mereka!"
Peri langit menatap peri cahaya yang kini terpaku diam. Bisa terlihat dengan jelas, wajahnya meraut sejuta pikiran. Entah berapa lama waktu seakan berhenti berdetak sampai akhirnya dia mampu bersuara, "Apa maksudmu? Pernikahan peri bumi katamu?"
Ctak! Emosi tak percaya hampir meledak kalau saja peri langit tidak mengenali rona bingung di mata peri cahaya. Setelah menghela nafas, peri langit mendekat ke telinganya, berbisik dan bercerita panjang lebar.
"Jadi maksudmu gadis bunga sahabatku menikah dengan pribumi yang itu? Tunggu, yang resepsi pernikahannya di istana musim semi sekitar empat bulan lalu?"
Huruf O menempel ketat di bibir peri langit, "Bukankah dari tadi aku sudah mengatakannya dengan jelas? Eh, bagaimana mungkin kau tidak mengenalinya ketika melihat undangan mereka?!"
"Walaupun aku membaca ratusan kali undangan pernikahan tersebut, aku tidak akan pernah menyadarinya. Bagaimana aku tahu? Aku tidak pernah tahu nama aslinya."
"Kau tidak sadar...(!?) Lalu apa yang kau lakukan saat ke resepsi pernikahan mereka?"
Giliran peri cahaya yang membulatkan bibir, "Ehem, aku bukan tipe nona penggosip yang akan berbaur dan mencari tahu siapa, darimana dan bagaimana gerangan mempelai laki-laki. Plus, tidak ada alasan bagiku untuk mengintip ke balik hijab dan melihat rupanya. Ya Allah, aku belum gila. Tamu laki-laki dan perempuan dipisah, ingat?"
Peri langit menepuk dahi lalu tertawa geli. Kau tahu, tawa itu mudah menular. Sekejap, peri cahaya pun larut dalam tawa, dia berseru "Aku pikir ada masalah apa, ternyata kau hanya kesal karena tidak bisa melihat bumi yang bercahaya kan?"
Peri langit murung, "Sejujurnya, iya. Ah-hh, aku bisa insomnia mengingat kusutnya benang merah di antara kalian. Tapi bagaimanapun juga, bumi yang bercahaya tidak tertulis di dalam Lauh Mahfuzh jadi seberapa besar pun keinginanku mempersatukan kalian, yang namanya tidak jodoh ya tidak jodoh."
"Semua terjadi untuk yang terbaik. Tenang saja, keinginanmu akan terkabul tetapi dalam wujud yang berbeda InsyaAllah. Memangnya di dunia ini hanya ada satu pribumi? Atau, tidakkah kau tertarik melihat langit yang bercahaya?" Senyum manis mengembang di bibir peri cahaya.
"Huh, aku tidak punya kandidat pangeran langit. Eh, bagaimana kalau bulan yang bercahaya? Aku tahu---" Peri cahaya dengan lihai membungkam mulut peri langit. Dia menempelkan keningnya di kening peri langit, "Pssttt, aku pulang ya! Hampir lupa, salam sayangku untuk bayi mungilmu. Dan kusarankan, sebaiknya kau pensiun dari profesi mak comblang!"
Cepat-cepat, peri cahaya terbang menembus awan-awan putih. Setelah kediaman peri langit tak terlihat lagi, sesaat dia merasakan sesak di dadanya. Lalu aliran bak air terjun hanyut di matanya. Ada rasa lega tak terlukiskan di sana. Ada asa gemerlap terlukiskan di sana. Patah hati? Jangan bercanda.