Petualangan Sehari (Part I)

Bismillah

B
rukk!! Tanpa mendapat perintah dari saraf otak, kaki kananku merosot masuk ke dalam celah kecil di antara bebatuan besar. Keseimbanganku goyah walaupun satu tangan sahabat baikku telah dengan sangat sigap dan susah payah memeluk dahan pohon dan tangan yang satunya lagi mencoba mempertahankanku agar tetap stabil di tempat. Detik berikutnya, badanku seolah terbang bebas seakan kertas yang tengah ditiup oleh angin. Entah harus senang atau sedih, kini aku sudah bersatu dengan derasnya air sungai. Rasa dingin menjalar sedikit demi sedikit dari ujung jari kakiku hingga mencapai belakang leherku. Kesadaranku mulai menipis. Sang gunung menggemakan teriakan kaget dan histeris panggilan namaku, “Aya…! A-y-a…!! AYA…..!!!”
╣═╠
            “Jangan meremehkan kami, Pak!” ujarku bersikeras pada pak Nawir, kepala desa kami. Hati-hati, aku melirik kepada Azka dan Husnul—kedua sahabatku—mengirimkan sinyal agar mereka juga segera mengucapkan kata-kata bujukan.
            Husnul hanya tersenyum simpul sedangkan Azka menarik nafas lalu berkata, “Walau kami perempuan, kami tidak selemah yang Bapak pikirkan. Percayalah, Pak!”
            Pak Nawir bergeming, tidak memberi reaksi. Ck, dalam hati aku meringis, padahal aku ingin sekali ikut berkebun di area puncak gunung desa kami. Terlebih lagi di puncak gunung itu ada stasiun relay antena pemancar yang sangat kusukai. Yahh, apa boleh buat kalau begini. Akhirnya kami bertiga memutuskan berkunjung ke rumah tetangga sebelah. Sesaat kemudian, tiba-tiba ada suara yang terdengar tergesa-gesa, memanggil nama kami. Eh? Ada apa?
            “Ayo cepat, kita sudah mau berangkat!!” Aku melongo mendengar kalimat itu. Saking tak percayanya, aku tidak bergerak sama sekali dari tempatku hingga kalimat yang berikutnya kudengar, “Kalian mau ikut kan? Atau mau ditinggal??”
            Hore! Kami jadi berpetualang ke puncak gunung Bonto Daeng dengan berjalan kaki. Rombongan petualang sehari ke puncak gunung ini terdiri dari pak Nawir, pak Bahrun, kedua anak pak Nawir yaitu Sulpi dan Fadhil, Kak Andy, Kak Wei, Sonny, Qadri, Eni, Azka, Husnul dan terakhir tentu saja aku.
╣═╠
            Aku membasuh peluh yang bercucuran dari keningku dengan nafas yang hampir habis. Yang benar saja, benar-benar perjalanan yang melelahkan. Pantas saja pak Nawir enggan membawa kami bertiga. Kalau tidak punya tekad yang kuat, pendakian ini akan memaksa jiwa-jiwa lemah untuk mengurungkan niatnya sampai ke puncak. Namun tentu saja saja, kami tidak selemah itu kan? Hehehe, iya baiklah, kami mengaku. Kamilah memang yang berada di barisan terbelakang karena paling banyak istirahatnya.
            Segala lelah, haus, lapar dan rasa sakit seakan hilang ketika sampai di puncak gunung letak kebun itu berada. Subhanallah, bila kamu mengangkat tangan seakan kamu bisa mencapai langit saking tinggi tempat tersebut. Seluruh desa kami bisa terlihat dari titik itu. Apalagi kami pun bisa meraba tower antena pemancar desa.

            Ketakjuban tak berhenti sampai di situ. Di perjalanan pulang—di akhir petualangan kami—pak Nawir dan Pak Bahrun mengajak aku, Azka dan Husnul menyeberang sungai tanpa jembatan sebagai jalan pintas. Eh? Jangan tanya mana rombongan yang lain. Saat ini dengan hampir menyamai kecepatan bunyi, mereka mungkin telah sampai di rumah dengan jalur yang biasa. Apalagi kak Andy yang kebelet BAB, hehehe, pasti kecepatannya setara kecepatan cahaya.
            Aliran sungai yang deras seakan saling berlomba mencapai hilir begitu mempesonaku. Aku tertawa saat kutengok kedua sahabatku—dengan mata yang berbinar—memperhatikan air terjun kecil yang dihasilkan dari bebatuan besar di sungai itu. Kami akan sampai ke seberang jalan dengan melewati bebatuan sungai yang menciptakan air terjun kecil di bawahnya.

            Pak Nawir menyeberang dengan mudah lalu menatap kami, “Letakkan kaki kalian pada batu-batu yang besar. Gunakan dahan pohon di samping sungai untuk berpegangan.” Kami bertiga mengangguk bersamaan. Azka yang pertama memegang dahan pohon lalu melompati beberapa batu dan tiba di tengah-tengah sungai. Aku takjub, “Keren!! Sangat menyenangkan!” Aku pun melangkah maju untuk mengikuti gaya Azka.
            Perlahan aku menginjak salah satu batu lalu ketika berniat melompat ke batu yang lain, sebuah suara di kepalaku menghentikanku. Badanku dikerumuni syaraf ketakutan ketika melihat jarak antarbatu yang akan kulompati cukup jauh. Azka menghentikan lamunanku, “Aya, ayo! Injak batu yang itu lalu berpeganganlah padaku!” Aku terdiam menatapnya. Dengan satu tangan Azka pun mengambil dahan pohon dan mengulurkan tangannya yang lain, “Jangan ragu. Ayo!”
╣═╠

0 komentar: