Bismillah
|
Perjalanan Penuh Pesona Edisi Bukan Tipuan Cantik |
Mentari pagi telah menyapa dengan manisnya ketika aku merangkul Fatih keluar dari peraduannya. Hari ini aku mendapat amanah untuk menjadi pemateri LDK alias Latihan Dasar Kepemimpinan di salah satu SMK di kota Anging Mamiri ini. Hal itu sungguh membuat jantungku berdegup lebih kencang dari degupan yang biasanya, bukan karena grogi menghadapi adik-adik belia yang super manis melainkan karena aku tidak tahu dimana keberadaan sekolah tersebut. Kabar terakhir yang kudengar, letaknya berada nun jauh dari kawasan tempat tinggalku.
Aku bersikeras meminta dibuatkan peta. Halo? Aku tahu aku sudah hidup hampir sembilan tahun di kota Makassar tetapi maaf saja aku benar-benar buta arah. Sayangnya, takdir tidak membiarkanku memperoleh peta. Alhasil aku berangkat dengan bermodalkan doa dan nyali. Ya Allah Ya Rabb, bantulah Fatih mengantarkan aku dengan selamat.
Kringggg- telepon genggamku berdering, tertera nama supervisor sekolah tersebut, sebut saja ukhti manis. Segera kusambut dengan menjawab salamnya terlebih dahulu. "Sudah dimana?" tanyanya.
Aku mengernyitkan dahi, menengok ke kiri dan ke kanan lalu menjawab sekenanya, "Di kawasan perkantoran eh baru saja melewati STMIK. Ya Allah, ini dimana sih? Rumah sakit yang jadi penandanya tidak terlihat. Selain rumah sakit, bakal ketemu apa lagi?"
"Memang masih jauh di depan. Lurus-lurus saja. Nanti ada perempatan lampu merah dan di sebelah kanan jalan ada patung ayam. Nah, belok kanan di situ."
"Tunggu, patung ayam...(?) Tugu tiga ekor ayam di perbatasan kabupaten Maros itu?"
"Iya, ukhtifillah. Kalau sudah sampai di sana, missed called ya, nanti kutelepon balik."
Aku menelan ludah, masyaAllah. Benar-benar di luar perkiraanku. Aku mengelus Fatih lembut, kuharap kamu baik-baik saja. Ini pertama kalinya aku menjejakkan kakimu di sini. Ya Allah, ridhoilah perjalanan kami.
Kringggg- teleponku berdering lagi ketika aku sudah sampai di titik yang ditentukan. Aku tercengang melihat situasi semrawut di depanku, "Ini pasar kan?"
"Iya. Tetap lurus hingga dapat belokan kiri pertama."
Deg! Ya Allah Qadarullah wa Masya Fa'ala, sedikit lagi hampir saja Fatih bersalaman dengan mobil panther hitam yang mau keluar dari belokan. Aku meringis pelan, "Ukhti, Innalillahi, jalanan ke sekolah ini nggak bisa disebut jalan raya. Serius, ini lebih mirip lorong. Hatiku nggak siap menghadapinya. Hiks!"
Sejenak aku terdiam beberapa saat, menunggu hingga lorong itu benar-benar kosong lalu aku pun berlalu. Tidak kupedulikan lagi dengingan klakson yang bertebaran di telinga. Anehnya, yang terdengar lebih kencang malah detakan jantungku sendiri.
Hemm, kini aku memasuki jalanan berkerikil dengan sisi kanan kiri yang menyerupai tebing curam. Ukhti manis berkata lembut, "Maya ikuti saja arah jalannya ya. Kalau sudah ketemu papan penunjuk SMK-nya baru kutelepon lagi."
"Tunggu... Jangan tinggalkan aku sendiri. Kalau aku diculik atau tersesat, gimana? Biarkan saja teleponnya, jangan diputus. Ya?" Hampir-hampir aku menangis, tahu-tahu saja super melankolisku berada di puncak mood.
---"Mdede- issengki Maya, sampai ja ki itu. InsyaAllah..."
Hatiku, kuatlah. InsyaAllah... Aamiin... Aku berulang kali mengucapkannya hingga kudengar bunyi tut-tut-tut dari seberang telepon. Di saat seperti ini, terbayang olehku orang-orang dahulu yang menempuh perjalanan berkilo-kilo mil -lebih jauh dari jarak ini- dengan jalan kaki demi menuntut ilmu. Terbayang pula para akhwat pembina yang pulang balik ke sekolah ini dengan menggunakan motor atau bahkan pete-pete (public transportation, red). Subhanallah! Begitu MasyaAllah. Lalu aku? Huhuhu, manja sekali, norak pula. Hatiku mencelos, ini belum seberapa.
Kringggg- aku mengangkat telepon dari pemateri pertama LDK -inisial ukhti cantik- yang langsung bertanya, "Tidak nangis kan, May? Sudah dimana?"
Aku menggerutu pelan, "A-apa?! Er-rr, ini di... ehm, baru saja memasuki jalanan beton."
"Jadi sudah melewati perempatan pertama dari jalan kerikil?"
"Ngg, sepertinya sih sudah. Eh, belum. Eh?"
"Tidak mungkin tidak melewatinya, Mayaaa. Sudah, InsyaAllah. Lurus saja, nanti ketemu jalanan aspal kemudian belokan pertama sebelah kanan, di situlah jalan masuk sekolahnya."
Aku menengok sisi kanan, "Mana? Tidak ada."
"Mayaaa...! Lurus saja. InsyaAllah nanti ketemu. Eh, aku kagum loh sama Maya. MasyaAllah, sudah jago ya bawa mobilnya." Terdengar jelas suara riang ukhti cantik yang membuatku ternganga lebar.
"Dari tadi kan bisa mengangkat telepon dan berbicara dengan amat sangat lancar. Artinya sudah bisa menyetir dengan satu tangan kan? Atau bahkan tanpa tangan? Subhanallah..."
Hening.
Satu detik kemudian, tawaku meledak sejadi-jadinya. Rasanya seperti semua urat-uratku tersenyum hingga menimbulkan keram pada pipi dan perutku. Aku pun menjawabnya dengan semu merah di wajahku, "Hemm... Ini pakai headset, kok."
"Ahahahahaha... Tipuan yang cantik! Maya, aku benar-benar tertipu!"
Kami berdua langsung larut dalam tawa hingga aku tiba di gerbang sekolah tujuan. Aku mengeluarkan senyumku yang paling manis seraya mengerlingkan mataku ketika bertemu dengan ukhti manis dan ukhti cantik. Alhamdulillah, sampai dengan selamat juga akhirnya. Fatihku sayang, terima kasih <3
Ukhti manis mencubitku gemas, "MasyaAllah, cepat sekali sampainya. Maya sudah jadi pembalap handal, apalagi medannya cukup riskan loh."
Sebelum aku sempat menjawab, ukhti cantik berseru lucu, "Itu tipuan cantik. Jangan tertipu. Setengah jalanan tadi kan sepi sekali, toh ini siang hari nan terik. Jadi bisa sampai dengan cepat."
|
Jalur Bebas Hambatan (Kecepatan Minimum, red) |
Hening.
Sedetik kemudian, tawa kami meledak bersamaan. Ya Allah Ya Rabb, yang bermaksud menipu itu siapa...(?!) Mentang-mentang track record kecerobohan mengemudiku benar-benar parah sampai segitu luar biasanya ya kalau aku bisa melakukan hal-hal itu. Ckckckck, kasian sekali aku. Hahahaha...
Aku pun dituntun masuk ke dalam kelas untuk segera memulai LDK sesi materi kedua. Ketika melihat wajah-wajah muslimah polos dan imut itu, segala kegelisahan dan kepenatan perjalanan tadi seakan-akan lenyap menjadi buih di lautan. Irama titik-titik hujan dari balik jendela mengiringi pembawaan materiku. Sungguh masyaAllah...
Jika segala sesuatunya diniatkan karena Allah, rasanya tak ada sesuatupun di dunia ini yang bisa membuat lara dan sedih yang berkelanjutan. Itu pasti. InsyaAllah. Setuju?
..:: 12.01.2012 ::..
alih bahasa:
---"Aduh- dasar Maya, bakalan sampai juga kok. InsyaAllah..." #aura hati super gregetan