Tunduk di Mihrab Taat

Bismillah

Cahaya Langit di atas Pantai Losari

Aku melirik jam tanganku, hari ini aku ada janji. Aku menanti datangnya seorang kakak bermata cokelat. Sayang, kala itu Fatih tidak bisa menemaniku padahal aku ingin sekali mempertemukan mereka. Hiks -mau bagaimana lagi- Qadarullah, Fatih lagi diopname di rumah sakit.

Tringgg...! 1 new message.
"Sudah sampai di ujung jalan abdesir tapi kok tidak melihat penampakanmu ya?"

Aku memekik, menekan tuts hape secepat kilat, "Kakak melewatiku..(!) Putar balik, Kak." Bruuumm -deru motor yang datang menghampiri- menghapus kepanikanku. Aku melontar senyum manis ketika dua bola mata beradu. Kakak menyalamiku hangat, "Maaf, menunggu lama ya?"

Aku mengangguk seraya menggigit bibir bawah, "Aku hampir saja ketiduran." Sambil menyembunyikan tawa, aku pun duduk anteng di sadel belakang. Kakak menatap cemas, "Eh, ini pasti pengalaman pertamamu naik motor kan?"

Spontan mulutku membentuk huruf o -terperangah- cepat-cepat aku menggeleng. Kakak terkekeh dan lanjut berasumsi, "Bisa berabe nih jika memulangkanmu dalam keadaan masuk angin."

Kalimat protes keras sudah terformat di pita suaraku tapi laju motor mengalahkannya. Aku memilih bungkam dan melingkarkan tanganku ke pinggang kakak, "Aku tidak bisa kalau tidak memeluk. Tidak geli kan, Kak?" Detik berikutnya, tawa keluar dari mulut kakak. Aku hanya bisa menyembunyikan rona merah di mukaku melalui hembusan angin.

"Sejak kapan tahu?"

Eh? Hem... aku diam sesaat mencerna pertanyaan kakak, menarik nafas kemudian mulai bercerita. Sejak awal aku tahu, aku berjalan di ranah berbahaya. Terlalu rentan melukai karena ambang nyata dan maya mengabur. Parahnya, tanpa sadar telah tersimpan sebuah bom waktu. Ini memang hanya ledakan kecil tetapi efek yang terasa luar biasa menghancurkan. Bahkan aku rela bila tetap menjadi puing-puing. Aku malu. Aku sungguh malu sama Allah Ta'ala.

Senyap. Tak peduli kendaraan yang berlalu begitu kencang, aku fokus menangkap tiap kata yang diucapkan kakak. Nalarku mulai menggabungkan kepingan puzzle dari tiap kejadian sampai akhirnya laju motor berhenti. Mataku kerjap-kerjap menyesuaikan diri dengan tempat yang belum pernah kujamah. Kakak berseru riang, "Ini warung mie nomor satu di daftar favoritku. Sebenarnya mau ngajak ke Mall tapi yakin bin percaya, dirimu tidak suka plus tidak nyaman di sana, jadi di sinilah kita sekarang. Ayo. Eh, tunggu! Bener nih tidak bakal dicari sama orang rumah?"

Aku mengerutkan kening, ini dari tadi kesannya kok kayak aku ini nona muda yang manja, lemah dan suka melarikan diri dari rumah ya...(?!) Melihat reaksiku -berpikir memangnya image apa yang terlihat pada diriku- kakak menarik tanganku memasuki warung sambil cekikikan. Huh- apaan sih.

"Mau pesan apa?"
Aku menatap kakak, "Terserah."
"Sayang sekali, tidak ada menu terserah di sini."

Aku tertawa, mengedarkan pandanganku ke pamflet menu makanan. Hmm... penasaran, "Mie pangsit buum itu apa kak?" Kakak tersenyum, "Itu saja ya? Pangsit plus bakso yang besar sekali." Anggukan kecilku mengiyakannya. Tak lama, dua mangkuk mie pangsit buum pun telah terhidang.

"...jangan menghilang...tak sadarkah dirimu, ada orang yang hampir mati karena begitu mencemaskan keadaanmu? Menghilang itu tidak adil. Jangan bilang ini suatu bentuk amarah? Atau bahkan hukuman?"

Eh? Hem... aku diam sesaat, lagi-lagi mencerna pertanyaan kakak. Namun, kali ini aku gagal memahaminya. Air mataku mengalir. Suaraku tercekat di tenggorokan. Aku tidak marah, tidak pula memberi hukuman. Dan yang terpenting aku tidak menghilang. Aku hanya kembali ke sisi Rabb Yang Maha Agung, melangkah bijak dengan lebih memperhatikan lagi kelemahanku sebagai manusia. Aku... tunduk di mihrab taat.

Hening. Tak kuasa menghentikan rasa yang menyeruak, sapu tangan pun menjadi teman setia.

"Iya, dimengerti. Sudah, ah. Wajahmu jadi terlihat sangat jelek sekali."

Aku tersenyum geli, kok bisa jelek ya? Padahal aku yakin sekali wajah menangis ini bakal terlihat cantik. Ups, wajah tersenyum pasti bakal lebih cantik lagi. MasyaAllah.

Tak terasa, pengunjung warung sudah silih berganti tapi kami tidak jua beranjak. Tempatnya tenang dan lapang sih. Kami berdua hanya bisa geleng-geleng kepala lalu meninggalkan warung. Ng, next destination, anjungan pantai Losari. Uniknya, kami tak pernah berhenti bercerita di sepanjang perjalanan. Aku tahu pasti, kecepatan motor di bawah 20 km/h dan kakak begitu ekstra hati-hati mengendarai motor di sisi kiri jalan. Bila ketemu lampu merah, berhenti di tempat adem nan terlindung dari terik matahari. Belum lagi pilihan jalan pintas yang tidak padat kendaraan. Benar-benar strategi yang masyaAllah, te-ou-pe be-ge-te!

Anjungan Pantai Losari

Jujur saja, anjungan pantai Losari tidak cocok dinikmati di siang hari bolong seperti ini. Rasanya seperti dipanggang tapi Subhanallah anginnya sepoi-sepoi menyejukkan. Walau tak sempurna, aura pantainya dapat, Alhamdulillah.

Kringgg...!! My Rahmat calling.
Kakak tersenyum usil melihatku menjawab telepon. Ugh, jadi sedikit grogi.

"Nah, dicari sama adik tersayangmu kan? Pulang, yuk!"

Aku membentuk senyum menyerah, buktinya terlalu kuat. Er-rr, dari tadi tak pernah sekalipun aku bisa mengelak protes. Ahahahaha. Tidak apa, yang jelas hari ini aku senang sekali. Aku belajar tentang rasa cemas. To the world you may be somebody but to somebody you may be the world. Mengetahui hal itu saja sudah membuat hati terasa hangat. Maaf sudah bertindak egois, aku tidak menemukan solusi selain menghabiskan waktu yang lebih banyak lagi dengan Penciptaku. Maaf sudah membuat cemas. Maaf dan terima kasih.

Terima kasih sudah menculikku selama lima jam ya, kak! Semoga Hidayah dan KaruniaNya selalu tercurah untuk kakak, insyaAllah. Seorang kakak berparas cantik, berpostur menawan dan bermata cokelat. Aku mencintaimu karena Allah Ta'ala.


Makassar, 5 Februari 2012
12 Rabiul Awwal 1433 H